Bab 4

910 14 2
                                    

Hari ini hari minggu, hari pertama liburan caturwulan dua. Saat ini aku duduk di bangku kelas tiga. Semestinya aku senang karena sekolah libur. Tapi, kepulangan ayah ternyata membawa kabar kurang sedap bagiku. Ayah butuh ibu untuk membantu pekerjaannya di Jakarta. Usaha konveksi yang tidak sempat terurus empat bulan terakhir, kini sudah dibuka kembali. Namun, pasca operasi batu ginjal, usaha bapak melemah. Mengakibatkan pengurangan karyawan besar-besaran. Tenaga ibulah yang diharapkan untuk menutupi anggaran biaya tersebut.

"Jangan khawatir, Nara, Nenek akan menjagamu. Lagipula ada Bi Nurfi, Bi Luni, dan Bi Leha di sini. Kau tidak perlu cemas tidak bisa menanak nasi." Nenek merangkulku, mewejangkan kata-kata bijaknya.

Para saudara dan tetangga pun ikut hadir menyaksikan ibu pergi ke kota. Uwa Rida sibuk menyeret-nyeret karung berisi beras ke delman. "Untuk ibumu," katanya sambil menatapku.

Ibu dan ayah sudah bergegas melangkahkan kaki ke luar pintu, menjinjing tas besar dan kardus yang diikat dengan rapia hitam dan penuh lakban. "Kau akan baik-baik saja, Nara. Nanti kalau ada apa-apa, kirimkan surat untuk ayah dan ibu." Keduanya mengelus lembut pundakku.

Semalam, ayah memang sudah membahas hal itu. Bahkan ia menuliskan alamat konveksinya di kalender toko emas yang tersampir di dekat jendela. Biar aku tidak perlu repot mencarinya, katanya.

"Ibu, Nara mau ikut..." Aku menarik baju ibu, menahan langkahnya tidak rela.

"Kinara sayang, akan repot sekali mengurus kepindahan sekolahmu. Mengertilah... Kau pasti bisa melewati masa sulit ini. Nenek akan membantumu, juga Bi Nurfi, Luni, Leha, Wa Rida, dan saudara-saudaramu yang lain," Ibu melirikkan matanya pada nenek.

Ini bukan kali pertamanya ibu meninggalkanku. Dulu, ketika aku berusia empat tahun, ibu merantau di kota dengan ayah. Mereka pulang menjengukku sebulan atau dua bulan sekali, lantas pergi lagi. Tapi, tetap saja aku tidak ingin ibu pergi. Aku merasa ada yang hilang. Tapi, ya mau bagaimana lagi, warga kampungku mayoritas perantau. Malah ada yang sampai tega menitipkan anak balitanya kepada orangtua atau mertua, sementara dia menjadi TKW di luar negeri, mengiba selembar dolar atau ringgit demi menutupi kekurangan material di tanah air.

Aku mencium tangan ibu dan ayah dengan hati yang amat berat. Sungguh tak kuasa merelakan kepergian keduanya. Semestinya semua orang tahu isi hatiku, bahwa aku tidak ingin ibu pergi. Namun, dari wajah datar mereka, aku cukup tahu, kalau manifestasi yang mereka utarakan, sebenarnya tidak tega melihatku bersedih hati.

Langit cerah berlapiskan awan tipis di pertengahan Juni, tidak mampu merayuku untuk selalu ceria seperti biasanya. Beberapa helai putih bunga jambu air berjatuhan mengotori rumput jepang, aku juga tidak peduli. Padahal aku selalu suka jika rumput di halaman rumahku berubah putih karena reruntuhan bunga yang gugur tertiup angin atau tersenggol lebah. Aku akan bilang pada ibu, "Jangan dibersihkan, Bu. Anggap saja itu salju." Lantas ibu tertawa mendengarnya, dan menarik lagi sapu lidi yang terlanjur mencolek beberapa helai guguran bunga jambu air. Urung menyapunya.

Tidak ingin terlalu lama menahan sesak di dada, aku membalikkan badan dan masuk ke dalam kamar. Mulai malam ini, aku akan tidur sendirian, kataku sambil meremas bantal.

***

Di kamar sempit yang berlapiskan kelambu usang, berdindingkan bilik bambu yang lapuk dan celah bolong dimana-mana, aku menyandarkan pundakku pada bantal yang keras. Aku tidak menangis karena kepergian ibu, melainkan ingin sendirian menertawakan nasib. Mungkin dengan memeluk guling, hatiku akan sedikit tenang. Namun berselang menit, Kak Eli mengetuk pintu dan meminta masuk.

"Masuk saja, Kak..." kataku menjawab datar.

"Hei, kau sedang apa di sini? Aku dan Iin akan ke kebun mencari sisa-sisa bawang merah. Kau mau ikut?" Kak Eli menyibak kelambu, duduk di tepian ranjang tingkatku.

DESA TERKUTUKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang