Jalanan terlihat lengang tidak banyak kendaraan yang berlalu lalang. Jam juga sudah menunjukkan pukul 8 malam. Kini aku sedang berada didalam mobil dengan seorang cowok yang tadi saat di sekolah menarikku untuk mengikutinya. Aku dan Vino sedang memakan jagung bakar yang tadi dibeli olehnya di warung pinggir jalan.
Tadi Vino menarikku agar ikut dengannya untuk mengobati luka-luka diwajahnya dan katanya dia mau cerita tetapi, sampai sekarang cowok itu belum juga membuka suaranya membuat aku jadi makin penasaran dengan Vino. Sebenarnya cowok ini kenapa sih? Dari kemarin wajahnya babak belur seperti ini. Apa dia berkelahi lagi dengan Rafa, ya?
"Mo?"
Aku menoleh, mendapati Vino sudah selesai memakan jagung bakarnya lantas sekarang cowok itu sedang menatapku.
"Kenapa?"
Kulihat Vino mengehela napas panjang, dia terlihat gamang entah apa yang dipikirkan cowok itu tetapi, yang dapat ku simpulkan Vino seperti sedang ingin mengatakan sesuatu tetapi tertahan.
"Lo mau tau kenapa gue babak belur begini?" tanya Vino membuatku mengkerutkan dahi lalu mengangguk.
"Tapi, janji jangan kaget ya?" tanyanya lagi, kali ini ada rasa cemas dari nadanya.
Aku jadi semakin penasaran sebenarnya Vino ini kenapa sih? Apa coba yang dia lakukan sampai-sampai seperti ini. Padahal dulu sewaktu kelas 11 dia tidak pernah seperti ini.
"Iya Vin, lo mau ngomong apa? Cerita aja." jawabku sambil menatap matanya yang tersirat sesuatu didalamnya.
"Gue, abis ikut tawuran." ucapnya lirih tapi, masih bisa ku dengar. Dia menundukkan wajah.
Aku terkejut, membekap mulut, tidak percaya dengan apa yang dibilang Vino. Sejak kapan Vino ikut tawuran? Dulu Vino tidak pernah ikut-ikutan tawuran mengapa sekarang Vino menjadi seperti ini? Aku benar-benar dibuat bingung sekaligus tidak percaya.
"Lo se--rius?"
Vino mengangguk sambil menunduk. "Iya serius."
Aku menghela napas gusar. "Kenapa lo ikut tawuran?" tanyaku pelan agar ia mau cerita.
Vino mendongakkan kepalanya kini dia menatap wajahku lekat. "Gue nggak bisa jelasin ke lo, intinya ada satu hal yang ngeharusin gue buat ikut tawuran itu." ucapnya sambil menyandarkan punggungnya dijok mobilnya.
"Vin, kalo lo punya masalah gak kayak gini cara nyelesaiinnya," balasku lembut agar dia sedikit lebih tenang. "Lo tadi gak sekolah?" tanyaku.
Vino mengangguk dua kali. "Iya, bahkan gue juga gak pulang ke rumah." aku kembali terbelalak. Oh, jadi ini alasan kenapa Vino masih memakai baju putih abu-abu, dia tidak sekolah dan tidak pulang ke rumah.
"Lo kenapa jadi kayak gini sih Vin? Lo gak kasihan sama orangtua lo yang sekarang pasti lagi bingung. Orangtua lo pasti khawatir lo kemarin gak pulang ke rumah." Vino diam tidak berniat memotong ucapanku.
"Sekarang lo pulang, minta maaf sama mereka. Kemana sih Vino yang gue kenal dulu? Vino yang nggak pernah berantem, Vino yang rajin, Vino yang humoris, kemana Vino yang dulu? Plis Vin, kalo emang lo lagi ada masalah nggak gini caranya, lo bisa cerita ke temen-temen lo atau ke orangtua lo." Vino menatap mataku lekat, mata coklat terangnya mampu membuatku terpaku.
"Maaf," satu kata keluar dari bibir Vino. Tatapan cowok itu sendu aku menjadi iba melihatnya.
Vino meraih kedua tanganku untuk ia genggam. Perasaan aneh menjalar keseluruh tubuhku, darahku berdesir saat tangan Vino menyentuh kulit tanganku, jantungku juga berdetak tak karuan. Pasalnya baru pertama kali ada cowok yang menggenggam tanganku selain Papa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love in Silent
Подростковая литератураDalam diam aku menyimpan, sebuah kata yang sulit untuk ku ucapkan. Dalam diam aku memendam, sebuah rasa dalam rangkaian aksara. Dalam diam aku menyembunyikan, sebuah harap yang terpendam tanpa terungkap. Dalam diam aku menyebut namamu dalam setiap d...