"Terima kasih atas kehadiran kalian pada rapat kali ini. Saya akhiri dengan mengucap alhamdulillah. Hati-hati di jalan dan titip salam buat orang tua kalian, ya."
Akhirnya rapat ini selesai juga. Waktu yang cukup lama untuk Adit menungguku di warung depan sekolah. Buru-buru kubuka ponselku dan betapa kagetnya aku saat kujumpai puluhan pesan dari Adit. Segera saja kubalas seperlunya sambil melangkahkan kakiku ke luar sekolah. Semakin dekat dengan gerbang depan sekolah, langkahku makin gusar. Tanganku gemetar. Keringat dingin membasahi sekujur pelipis. Aku harus apa bila nanti bertemu dengan Adit?
"Yuk pulang." suara berat itu membuatku menoleh. Penampilannya acak-acakan. Sangat berbeda dengan Adit yang pertama kali kulihat di gereja itu. Ah, tentu saja. Waktu itu dia 'kan mau bertemu Tuhannya, masa iya mau berpenampilan seperti ini.
Melihatku yang hanya bengong, ia menyenggol lenganku pelan. Kemudian menyodorkan helm berwarna merah muda kepadaku. Wah, pantas saja dia memaksakan diri untuk menungguku selama ini. Rupanya ia tidak mau helm merah mudanya sia-sia jika tidak dipakai siapa-siapa.
Baru saja tanganku akan menerima helm itu, Adit menariknya kembali. Memegang lembut pucuk kepalaku, memasangkan helm itu pada posisinya. Sialnya, aku tidak terbiasa memakai helm. Jadi, aku tidak tahu bagaimana cara mengencangkan talinya. Tangannya terulur begitu saja untuk membantuku yang kesusahan. Pada akhirnya, Adit memasangkan helm itu dengan sempurna di kepalaku. Sekarang tugasku hanyalah berhati-hati supaya tidak jatuh kalau-kalau Adit ngebut.
Adit sudah naik di kursi depan motor kesayangannya, tinggal aku yang masih diam terpaku dan kebingungan dengan semua yang sedang berlangsung di depan mata.
"Buruan naik, Fir. Apa perlu gue gendong segala?" aku tahu ia bercanda, mana mungkin Adit akan menggendongku, di tempat seperti ini.
"Enggaklah, gila kali lo." kakiku langsung menginjak salah satu pedal sebagai tumpuan supaya aku bisa naik motor itu. Kedua tanganku berpegangan pada pundak Adit.
Motor itu berjalan pelan. Selalu melewati jalan yang sudah kutebak bukan ke arah rumahku. Tapi, aku juga tidak tahu kami ini hendak kemana. Aku tidak marah, aku diam membiarkan apa yang ingin Adit lakukan. Rasanya aneh, semuanya bercampur-campur ingin meledak di dalam dadaku.
"Lo orang pertama yang pake helm itu." ia buka suara setelah sekian lama hanya angin yang menjadi latarnya.
"Pasti bohong, gue nggak percaya. Mantan pacar lo 'kan banyak banget."
"Iya, Fir, banyak. Tapi cuma buat lo gue mau beli helm kaya gini." jawabnya santai, seakan tak sadar bahwa perhatian kecilnya—yang tak banyak orang tahu—membuat jantungku jatuh dari tempatnya.
Satu lagi perjuangan yang ia usahakan untukku
"Ini kita mau kemana?" tanyaku, karena Adit tak lekas bicara lagi.
"Jalan-jalan. Nggak capek belajar mulu?
"Jalan-jalan ke?"
"Kemanapun yang gue mau."
"Loh kenapa gitu? Ga adil dong."
"Haha ya udah, Fira cantik mau kemana?"
"Terserah."
"Kira-kira kalo gue turunin lo di sini, bakal diculik nggak, ya, Fir?" celetuknya sambil menahan tawa.
"Haha apaan sih, Dit. Iya deh iya gue ikut lo, mau kemana aja juga."
"Gue ajak ke pelaminan mau?"
Aku sadar, Adit kini sedang memandangiku lewat kaca spionnya. Karena ia sudah menduga ini akan muncul. Semburat merona ini, yang merah di pipiku.
"Belum tau, Dit." jawabku hati-hati. Namun, tetap saja ia tampak kecewa.
"Mungkin iya." Tambahku cepat-cepat dengan senyum merekah yang kutujukan padanya.
Entah mengapa rasa ini begitu cepat menyergap. Juga, begitu kuat. Padahal aku bahkan belum bersiap. Detik itu pun aku tersenyum. Aku menyukainya. Mulai sekarang, aku akan mencoba terbiasa dengan kehadirannya.
Motornya berhenti. Terparkir rapi di sebuah musala kecil dengan azan yang sedang berkumandang. Ia tahu kalau aku harus salat dulu sebelum melanjutkan acara 'jalan-jalan' kami. Kemudian ia melepas helmnya, memperlihatkan betapa berantakan rambutnya itu. Tanganku terangkat ke udara—hendak merapikan, namun urung kulakukan. Gue ngapain sih?
"Lo salat dulu. Gue tungguin di sini. Oke?" Aku mengulas senyum dan menganggukkan kepala. Ia mengambil tas dari punggungku, namun aku menolak sebentar karena mukenaku ada di dalam sana.
Entah apa yang dilakukan Adit di luar sana sembari menungguku. Pastilah terlihat aneh kalau seorang laki-laki hanya diam dan tidak masuk ke dalam musola seperti itu. Aku tahu Adit bukanlah muslim, tapi orang lain akan lalu lalang terus bertanya. Padahal bisa saja pertanyaan itu membuat seseorang tidak nyaman, iya 'kan?
Untung saja salatku tidak lama dan aku segera kembali keluar untuk menghampiri Adit. Wajahnya yang terlihat bosan langsung bersemangat saat matanya menangkap hadirku.
"Yuk, pulang?" ajakku sambil memakai sepatu kiriku. Tapi, Adit menggeleng.
"Pokoknya lo harus pulang dalam keadaan kenyang. Titik." Adit menarik lenganku supaya aku berdiri sejajar dengannya. Kemudian tangannya turun menyusuri pergelangan tanganku. Sampailah jarinya menggengam jari-jariku. Ada sekelebat gelenyar aneh yang menjalari tubuhku. Tanganku meronta minta dilepaskan, namun tangannya menggenggam makin sempurna.
Tiba-tiba satu demi satu tetes air membasahi tubuh kami. Semakin deras saat Adit mulai melajukan motornya. Kalau aku sih tidak apa-apa kena hujan. Aku sudah kebal, bahkan aku suka dengan hujan. Bertolak belakang dengan Adit yang begitu membenci hujan. Baginya hujan itu pengrusak, penghancur, segalanya. Sedang bagiku hujan adalah penenang, peredam, semuanya.
Adit mengurungkan slogan 'pantang pulang sebelum kenyang'-nya yang baru saja ia deklarasikan di depanku. Alih-alih berteduh, dia malah memacu cepat motornya melewati jalan-jalan yang sudah sangat basah—bahkan banjir di beberapa daerah.
"Pegangan di pinggang aja, Fir. Takut jatuh."
Tanganku turun ke bagian yang dimaksud Adit. Memeluknya seakan aku memang tak mau melepaskannya, lagi. Tubuhku mengerat di punggungnya dan kepalaku bersandar di bahunya. Jadi, ini rasanya nyaman? Kupu-kupu di perutku mulai beterbangan liar. Sedangkan diriku sendiri tidak mampu mengendalikannya.
Satu tangannya memegang tanganku, hangat. Ingin sekali kuhentikan waktu. Bahkan aku ingin rumahku tiba-tiba pindah kemana pun, yang jaraknya masih jauh dari jalan ini. Tetapi, tiba-tiba saja hujan itu tak lagi kurasakan karena motor Adit sudah terparkir di garasi rumahku.
Sekali lagi rambut berantakannya tersapu angin, membuatku gatal ingin merapikan. Tapi, kali ini aku berani mengangkat tanganku dan melakukan apa yang kumau—merapikan rambutnya.
Suasana hangat menyapa saat ibuku membukakan pintu. Karena dingin, aku segera masuk dan mengambil dan handuk untukku dan untuk Adit.
"Gue ambilin baju ayah, ya, Dit? Basah banget loh ini, ntar lo sakit." terselip sedikit nada khawatir dalam ucapku.
"Nggak usah. Ngerepotin nanti."
"Nggak boleh nolak." tegasku penuh penekanan.
* * *
Semua pakaian yang hendak dipinjamkan kepada Adit, ibuku yang mengurus. Sedangkan aku mandi di kamar mandi di samping Adit—yang juga sedang mandi.
"Fir nyanyiin gue dong." teriaknya dalam kamar mandi di rumah orang. Bukannya malas, aku justru meladeninya. Bibirku mulai bergerak menyusun kata-kata. Suaraku terdengar naik-turun mengatur nada. Jadilah aku menyanyikannya sebuah lagu.
"Buruan mandinya, Nak. Nanti kita makan bareng." kata ibuku menginterupsi konser tunggalku.
"Iya, Bu." jawabku yang hampir bersamaan dengan Adit.
Seharian penuh aku berlumur perasaan tidak biasa. Campur-aduk yang juga menyatu di dalam dadaku. Rasanya seperti... ah, aku tidak bisa menjelaskannya. Yang kutahu, aku sudah jatuh cinta dengannya. Dengan seorang laki-laki yang baru saja mengantarku pulang. Laki-laki yang pertama kali kutemui saat ia selesai misa di gereja. Laki-laki yang denganku... kami berbeda Tuhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Segitiga
Teen FictionAda cinta segitiga. Antara aku, kamu, dan Tuhan. Jadi, kamu pilih aku atau Tuhan mu? beberapa part diprivate. follow dulu biar bacanya enak. kalau sudah tamat bacanya boleh sekali diunfoll :)