Namaku Veranika Azhelia, seorang mahasiswi Jurusan Ekonomi di universitas ternama di Jakarta. Aku menikah dua tahun yang lalu, saat usiaku baru 19 tahun. Sekarang, di usia 21 tahun, pernikahanku sudah berjalan dua tahun.
Ada satu hal yang ingin aku bagikan, sesuatu yang sangat pribadi. Tepat setahun setelah pernikahan kami, suamiku, Aditya Naufal Agustin, didiagnosis mandul oleh dokter. Perasaan kami saat itu benar-benar hancur. Sepulang dari dokter, Mas Adit langsung mengurung diri di kamar. Dia menolak makan dan bahkan sempat berpikir untuk mengakhiri hidupnya.
Aku sendiri sangat terpukul dengan kabar itu. Bayangan memiliki keluarga kecil yang bahagia, lengkap dengan anak-anak, terasa lenyap begitu saja. Ketika melihat Mas Adit hendak menyayat pergelangan tangannya dengan pisau, aku berusaha dengan hati-hati membujuknya. Setelah beberapa saat, akhirnya dia luluh dan membatalkan niatnya.
Dia jatuh terduduk di lantai, aku segera membuang pisau itu dan memeluknya erat. Kami menangis bersama malam itu. Ini adalah cobaan terberat dalam pernikahan kami. Namun, yang lebih mengejutkan adalah beberapa hari kemudian, sepulang dari acara keluarga besar, Mas Adit tiba-tiba menyarankan agar aku menikah dengan salah satu kakaknya yang hingga kini belum menikah.
Tambah terkejut—apa maksud dia, coba? Tapi dia tetap bersikeras, memaksa aku untuk menjalani poliandri. Bukan hanya karena hal itu berat, tapi juga karena kalian tahu, poliandri ini sangat tabu, apalagi jika suaminya ada tiga. Setelah aku memikirkannya dengan matang, akhirnya aku menyerah dan setuju dengan usulannya waktu itu. Dia bilang, tidak masalah, asal bisa punya anak meskipun bukan dari benihnya.
Sakit sekali ketika dia mengatakan itu, tapi apa boleh buat. Akhirnya aku menurut dan menikahi kakak-kakaknya Mas Adit. Kakak yang pertama, suami keduaku, namanya Kendra Lesmana Pradipto. Mas Kendra bekerja sebagai dosen di universitas tempatku kuliah. Suami ketigaku atau kakak kedua Mas Adit, Adnan Syafi Amzari, bekerja sebagai dokter kandungan (SpOG).
Mas Adit adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, tapi mereka berbeda ibu. Saat pertama kali Mas Adit mengusulkan ide itu, kedua kakaknya tidak terlalu setuju, tapi juga tidak menolak. Meskipun begitu, Mas Adit tetap pada pendiriannya, meskipun aku merasa aneh dengan permintaan gilanya itu. Tapi apa mau dikata, pernikahan poliandri itu tetap berjalan dengan lancar.
Sekarang, aku sudah memiliki seorang anak. Aku tidak tahu, apakah anak ini adalah anak Mas Kendra, Mas Adnan, atau mungkin Mas Adit? Sejujurnya, aku masih sangat berharap ini anak Mas Adit. Pagi ini aku benar-benar sedang malas kuliah, dan anakku juga masih tidur. Namanya Daffa Arya Ghossan, yang artinya pembela kebenaran bagi siapa saja, dan dia akan selalu memberikan kesejukan di mana pun dia berada.
Aku berharap dia akan menjadi seperti arti namanya. Sekarang usianya baru tujuh bulan, lagi lucu-lucunya. Mas Adit bahkan tidak bisa jauh dari Daffa. Mungkin kalian berpikir, kenapa kami tidak mengadopsi anak saja? Mas Adit ingin anak yang lahir dari rahimku, bukan dari orang lain. Sekarang sudah pukul 08:30 WIB, dan aku masih bersantai di sofa ruang keluarga, malas melakukan apa-apa.
Mas Adit sudah berangkat kerja sejak pukul enam, Mas Adnan pukul tujuh. Hanya Mas Kendra yang belum berangkat, padahal biasanya pagi-pagi dia sudah pergi. Aku memejamkan mata sebentar karena masih mengantuk, tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang basah dan lembut melumat bibirku. Seketika mataku terbuka, dan aku melihat siapa yang berani menciumku pagi-pagi begini—ternyata itu bibir Mas Kendra.
Ciuman kami semakin intens dan menuntut. Memang aku akui, nafsunya lebih besar dibandingkan yang lain. Setelah melepaskan ciumannya, dia tersenyum tipis dan jempolnya terulur mengusap bekas ciumannya tadi. "Ayo kuliah, saya tunggu di mobil." Tapi setelah itu, ekspresinya kembali datar seperti biasa. Dia memang aneh. Bahkan di kampus, tidak ada yang tahu kalau aku ini istrinya.
Dengan malas, aku bangkit dari sofa dan berganti baju, karena tadi pagi sudah mandi, jadi hanya perlu mengganti pakaian saja. Mbak Shana, babysitter Daffa, lewat. "Mbak, titip Daffa ya. Bilangin, Mamanya mau kuliah dulu."
"Siap, Non. Hati-hati ya, Non Vera," jawab Shana. Aku hanya mengacungkan jempol, lalu turun ke bawah. Saat sudah di dalam mobil, suasananya terasa canggung antara aku dan Mas Kendra.
"Sebentar lagi ada mata kuliah saya. Jangan sampai ketiduran lagi seperti kemarin. Kalau sampai terulang, nilai kamu saya kasih C," katanya tanpa menoleh, tetap fokus pada jalan di depannya.
Hah? Apa? Nilai C? Kalau aku ketiduran lagi di kelasnya? Ya ampun, siapa coba yang bikin aku kecapekan sampai tidur di kelas? Ini kan hari Rabu, hari di mana aku harus melayaninya. Gila saja kalau nilai kuliahku jadi taruhannya.
"Tapi Mas, Mas kan tahu sendiri kenapa aku bisa sampai ketiduran di kelas!" protesku, suaraku agak meninggi.
"Urusan kuliah dan rumah itu berbeda. Sebagai istri, kamu punya kewajiban melayani suami, dan sebagai mahasiswi, kamu punya kewajiban untuk tidak tidur di kelas. Kamu menghargai dosen apa tidak? Jawab!" bentaknya dengan nada tegas. Dia menepikan mobilnya, lalu menatapku tajam.
"Jawab, Vera!" katanya lagi. Mas Kendra memang tegas, baik di rumah maupun di kampus, sama saja. Bikin kesal!
"Iya-iya, maaf. Ya sudah, sekarang jangan marah lagi, ayo lanjut jalan," ujarku sambil mengalah. Dia mengelus kepalaku dengan lembut, lalu melanjutkan perjalanan.
Mas Adit tidak pernah membentakku seperti tadi. Dia selalu lembut, dan itulah salah satu alasan aku dulu menerima dia. Tapi kalau sudah begini, rasanya ingin sekali curhat ke Mas Adit. Tapi kalau aku ceritakan, mereka pasti ujung-ujungnya ribut—berantem lagi. Dan itu jelas tidak enak.
****
Kendra.
Adnan.
Aditya.
Hae'-' cerita baru vomentnya, dan lanjut atau gak?
KAMU SEDANG MEMBACA
POLIANDRI (3 suami)
Romance-SUDAH TERBIT DI PLAYSTORE VERSI EBOOK LENGKAP- terserah orang mau liat gue gimana, yang jelas gue punya suami tiga dan mereka bersaudara. awalnya gue cuman punya satu suami, tapi karena suami gue gak bisa kasih gue keturunan, Ya, dia mandul. akhirn...