Satu.

168 24 6
                                    

---

Lagu Only by Lee Hi sampai pada bagian akhir ketika aku memutar setir untuk memarkirkan mobil di basement kantor. Aku kembali bercermin menggunakan spion, memastikan tatanan rambutku tidak terlalu berantakan.

Hari ini adalah hari yang kunantikan selama bertahun-tahun, bertepatan dengan salju favorit yang berguguran layaknya hujan di dataran Seoul. Rasanya, dunia sedang memberi selamat kepadaku.

Aku menghela nafas berusaha tenang. Meski tidak seirama dengan degupan jantung, aku berjalan santai menuju lift dan menekan tombol 7. Satu tangan tiba-tiba muncul menahan pintu lift yang mulai tertutup membuatku terkejut.

Ia melangkah masuk dengan butiran salju di seluruh rambut dan mantelnya. Kepalanya menunduk berterima kasih yang kubalas dengan anggukan. Pintu lift tertutup dan perlahan berderak naik.

Di sela keheningan, aku melirik ke tombol lift dan menyadari tidak ada tombol yang terpencet selain angka 7

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di sela keheningan, aku melirik ke tombol lift dan menyadari tidak ada tombol yang terpencet selain angka 7. Tujuan pria ini sama denganku, yang berarti dia adalah salah satu 'karyawan' di kantor lantai 7.

Seharusnya aku mengenali wajahnya. Mungkin karyawan dari lapangan, pikirku melihat pakaiannya yang terlampau santai jika dianggap sebagai karyawan baru.

Lift berhenti dan pintu perlahan terbuka. Kami keluar bersamaan dan berjalan hampir beriringan. Hingga sampai di persimpangan, kami berpisah.

Lihat, padahal sekarang pukul 7. Namun seisi ruangan sudah ramai dengan orang lalu lalang sambil membawa kertas dokumen tebal. Aku kembali berjalan menuju sudut ruangan untuk membuat secangkir kopi.

"Hyebin, kau sudah datang?"

"Eoh."

"Bisa kau buatkan 1 cangkir lagi untukku?"

Aku melirik malas ke arah Jimin yang sedang tersenyum berharap, kemudian kunaikkan kedua alis sebagai jawaban iya.

"Kau memang yang terbaik. Akan kubawakan tasmu."

"Tidak perlu. Nanti kopinya kuantar, kau kembali saja."

Jimin menurunkan tangannya setelah mendengar jawabanku, "Baiklah, kalau begitu. Aku kembali." ucapnya sambil tersenyum dan melambaikan tangan.

Aku memandanginya pergi dengan senyum kecil. Selama hampir 2 tahun bekerja sebagai agen intel elite Korea Selatan, Jimin satu-satunya rekan kerja yang dekat denganku.

Selain karena kami seangkatan dan aku yang tidak pandai bergaul, beberapa orang bersikap sedikit segan karena di umurku yang terbilang masih sangat muda telah beberapa kali menjadi pemimpin tim dalam suatu misi.

"Ini kopimu." kuletakkan cangkir di meja Jimin hati-hati kemudian duduk di kursi kerjaku.

Senyum bahagia hinggap di wajahnya. Ia buru-buru memegang gelas dengan kedua tangannya, "Hari ini dingin sekali sampai-sampai jemariku mati rasa saat sedang mengetik laporan."

IntelligenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang