Bianca terbangun dan langsung menyadari bahwa dirinya berada di rumah sakit. Ia mendengkus menyadari label VIP diikuti nomor kamarnya yang tertera pada nampan berisi makanan di nakas. Rasa nyeri yang berdenyut akibat jarum infus di pergelangan tangannya membuat Bianca meringis. Ia sudah lupa kapan terakhir kali ia terbaring tak berdaya seperti ini. 10 tahun lalu? Atau 15 tahun lalu?
"Akhirnya kamu sadar juga."
Bianca menoleh ke arah pintu kamar dengan tampang malas, menyadari bahwa pria itu adalah Bara.
Bara mendekat. Bianca bisa melihat wajah lelah Bara. Menurunkan pandangan, Bianca menyadari bahwa Bara masih menggunakan setelan yang sama dengan yang terakhir kali ia lihat.
"Berapa lama aku pingsan?" tanya Bianca.
"Kamu pingsan sekitar pukul 10 malam." Bara melihat arloji di pergelangan tangannya. "Dan sekarang kamu baru bangun pukul 2 siang."
Bianca melotot.
"Ya. Kamu tidur seperti orang yang sudah lama gak tidur." Dan membuatku nyaris ikut pingsan karena panik.
Bianca terdiam enggan menanggapi. Matanya tertutup.
"Ada yang sakit, Bi? Kamu pusing?" tanya Bara tiba-tiba.
Bianca membuka mata dan melihat wajah Bara menatapnya panik. Terlalu dekat.
Bianca mendorong dada Bara dengan tangannya yang bebas. Terlalu lemah sehingga Bara bahkan tidak bergeming sedikit pun. "Aku gak papa. Aku cuma mau tidur."
Bara menjauh. Namun menyadari ranjangnya bergerak, Bianca membuka mata.
"Kenapa posisi ranjangnya kamu naikkan?"
"Kamu harus makan. Setelah itu tidur lagi."
Bianca melirik nampan makanan yang tadi ia lihat di nakas. "Aku minum aja. Makanannya gak enak."
Bara tersenyum miring. "Kalau gitu, kamu baru boleh minum setelah makan."
Selanjutnya, mereka kembali berdebat. Bianca mengeluh saat ia tidak diizinkan menghabiskan satu gelas air putih sebelum makan. Bara ngotot menyuapi Bianca karena Bianca masih terlalu lemah. Sampai separuh makanannya habis, Bianca berhasil membujuk Bara untuk berhenti.
"Tidur." ucap Bara setelah menurunkan sandaran ranjang.
Bianca menatap Bara sebentar, lalu mulai memejamkan mata menyambut kantuk yang pasti datang karena efek obat.
Saat Bianca telah terlelap, Bara mengulurkan tangannya mengusap lembut rambut Bianca yang tergerai di bantal. Bara menatapnya lembut.
"Sebenarnya apa yang terjadi, Bi?"
Bara mendesah. "Akan lebih mudah untuk membencimu kalau hidupmu seperti prediksiku."
"Tapi kenyataannya, hidup yang kamu jalani gak sesuai prediksiku. Kamu bahkan sakit separah ini."
Lagi-lagi Bara menghembuskan nafas lelah. Tangannya masih setia memainkan belaian rambut Bianca.
"Sebenarnya, apa yang udah terjadi, Bi?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Loving You, Hurting Me
RomanceDua hati yang saling mendamba Dua raga yang sulit bersama