Flashback

33 2 0
                                    

Langkah kakinya begitu lemah, wajah pucat kemerahan tertutupi topi bundar berwarna putih, matanya memandangi setiap nisan tanpa berkedip.

Tangan kanannya digenggam oleh seorang gadis berambut pirang. Beberapa saat, nenek bertopi bundar itu, mendongak kepada gadis manis penuntunnya. Telunjuk rapuhnya menunjuk nisan bertuliskan

RIP

RICHEL SARCHLOCK

Dengan ucapan terbata-bata, nenek disamping gadis berbadan jangkung, mulai mengucapkan sepatah kata

"Nak...Siapa nama orang itu?" telunjuk kanan gemetarnya menunjuk nisan putih disamping kanannya.

"Almarhum Richel Sarchlock nek," tukas gadis bermata biru disamping nenek.

Kepalanya mulai tertunduk kebawah, kelopak mata renta menandakan, usianya sisa menghitung hari.

"Nak, nenek punya wasiat," suara kelu menggetarkan meluncur dari bibir tipis lembek nenek.

"Apa itu nek?" Tangan halus gadis itu, mengelus-ngelus urat mencuat nenek.

"Nenek punya cerita, nenek mau kamu mengingat semuanya?" Nenek berucap di iringi batukan pilu.

"Kenapa nenek tidak ceritain sejak dulu," gadis berambut panjang itu, melontarkan tanya penuh hati-hati.

"Nenek sudah berjanji pada diri nenek," Tak sanggup menyamai tempo dengan usia, nenek berhenti sejenak.

"Nenek sudah janji, selagi nenek masih kuat, cerita ini, tetap nenek pendam dalam-dalam. Sekarang waktu yang tepat, untuk nenek menceritakannya padamu nak." mata sayu nenek makin lemah.

"Baiklah nek,  cerita nenek apa?"

"Semua tentang prinsip hidup dan arti jalinan kasih, yang mengubah pandangan nenek tentang dunia."

Nenek memejamkan mata, mengulang semua memori lama 80 tahun yang lalu.

Dimana, waktu itu nenek masih cantik jelita, seperti cucu disampingnya. Setiap paras orang terkasih nenek, terpampang jelas dalam ingatan buramnya.

Lidah kelu dipaksakannya bercerita, guna peristiwa manis tersebut tetap abadi bersama waktu.

"Namanya Richel Sarcholck, nenek bertemu dengannya di bekas gedung parlemen, waktu itu......"

1940

Aku masih muda, rambut pirang berwarna gold, menghiasi setiap jengkal lekukan tubuhku.

Hidup dalam keluarga harmonis, menjadikanku wanita anggun.

Saat ini usiaku tujuh belas tahun, hal tersebut bukannya masa-masa indah yang terjadi, melainkan masa yang diliputi segala ketakutan, kekhawatiran dan rasa was-was bila keluar rumah. Setiap derap langkah kaki mungilku, menarik perhatian hewan buas yang siap menerkam. Tapi berkat didikan orang tua, aku dapat hidup dilingkungan penuh kekerasan.

Tidak ada yang menahu, tentang ambisi berlebihan pemimpin kami, segalanya dirong-rong bagai manusia berotak kosong.

Patuh, tunduk, takut, itulah gambaran pelindung negara kami, tunduk pada satu rezim yang berkuasa penuh. Tapi, dikala hal tersebut kian mencekal, seorang pria bernama, Richel Sarchlock mengajarkanku arti keteguhan dan kesabaran.

Ia banyak mengubah pandanganku tentang pola pikir, yang tetap bertahan sampai diusia senjaku. Dia pemuda religius, penuh keyakinan pada kuasa maha pencipta.

Richel Sarchlock, aku punya cerita tentangnya dan seperti kata semua orang, ada cerita dibaliknya, untuk itu waktu perlu dimajukan empat tahun dari sekarang.

1944

Usiaku telah bertambah, namun hidupku kian terpuruk, diusia ke-21-tahun seperti sekarang, merupakan hal rawan di lingkungan penuh peperangan. Seperti kataku yang sudah-sudah, akan kuceritakan bagaimana pertemuanku dengan pemuda bernama Richel Sarchlock.

**

Di bawah gedung bercatkan hitam, di samping pintu aula utama, diriku duduk menatap kepulan asap tebal, dari tank coklat diujung jalan.

Tiba-tiba kedua tanganku, di genggam erat secara paksa. Aku meronta, tapi terlalu sulit menerjang. Tubuhku terlalu lemas, hingga satu hentakan saja, sudah membuat tubuh tersungkur diatas lantai.

Aku terbaring, dua pria berseragam tentara berdiri sambil tertawa menyeringai.

Aura mereka begitu menakutkan, terlebih keduanya mulai menatapku dengan tatapan penuh makna bernada bahaya.

"Apa yang kalian lakukan dengan gadis malang itu?"

Keduanya terkekeh, pistol dibalik seragam dinasnya, ditodongkan pada pemuda berseragam tentara, namun berbeda baret lengan dengan dua pria yang memegangku.

"Pergilah dari tempat kami men?" salah satu temannya mulai melepas tangan kiriku, sontak teman lainnya menggenggam erat tangan kananku

"Aku mau kalian berdua ninggalin cewek itu sekarang!"

"Ohhh...tidak bisa begitu men, semua ada aturan mainnya," suara tepukan diulang berkali-kali oleh tentara berbaret merah

"Apa kalian merasa tidak hina, memaksa gadis tak berdaya itu, ditempat sepi seperti ini?"

Keduanya mulai melepaskan tanganku, satu persatu menodongkan pistol kearah tentara berbaret kuning.

"Duss."

Suara tembakan mengelegar memenuhi seantero ruangan. Nyatanya dugaanku salah, tentara berbaret kuning tadi, malah menodongkan pistolnya kearah pria berbaret merah. Kedua tangannya, menodongkan pistol tepat pada pelipis mereka.

"Hebat." pujiku dalam hati

"Sekarang kalian berdua tinggalin dia!" kepalanya mengarah padaku, diikuti dua pria berbaret merah.

Akhirnya mereka berdua pergi, meninggalkan diriku, yang saat ini terkulai lemas, tentara berbaret kuning tadi, mulai menjulurkan tangan kanannya.

Aku diam, membuat alisnya dinaikan satu keatas

"Ayolah nona, tidak aman ditempat seperti ini!"

Ragu, takut, was-was kembali melanda, kutatap pelupuk matanya lamat-lamat. Dibalik binar pupil hitam, mengisyaratkan sebuah kepercayaan seoarang pria.

Anggukan kepala pelan, detik berikut, kugenggam telapak kanan miliknya erat-erat.

Betis lemas menopang beban berat badanku, sejengkal saja, sudah tercium aroma tegas, dingin, dan mematikan dari pria berhati emas disampingku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 12, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Love In War World 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang