Nayla memang tidak berani mengungkapkan semuanya, terlebih Nayla seorang wanita. Menunggu kepastian? Ya, memang terkesan mengenaskan. Menahan sakit hati mungkin sudah menjadi makanan Nayla sehari- hari. Tapi, ini tentang perasaan, tentang hati. Bagian paling sensitif, yang bahkan Nayla sendiri tak tahu mengapa hati ini jatuh kepadanya. Entahlah, bagi Nayla, apa pun yang ada dirinya sangat mempesona. "Layaknya cara angin merayu ia hanya berbisik, kemudian ilalang terpana seperti halnya dirimu hanya sesederhana itu, dan aku terlena". "Woi, Nayla ngelanun aja lu." Suara cempreng Fatimah membuyarkan lamunan Nayla. "Bisa kali gak usah pake toa". Jawab Nayla jutek sambil mengelus telinga. Sementara si Fatimah hanya cengar- cengir. "Hehe sorry, Nay. Lagian lo asik banget ngeliatin pangeran lo, sampe mupeng gitu. Sampai kapan mau nunggu Raihan? Sampe lo jadi nenek-nenek?". Fatimah sahabat Nayla ini memang sudah tahu dengan "PENANTIANKU" Bisa dibilang dia satu-satunya orang yang tau. "Sampai kapan? Jangankan elo, gua aja gak tau jawabannya." Jawab Nayla lemah. "Nayla sayang, udah berapa kali sih gua bilang, lo harus move on. Banyak cowo-cowo di luar sana yang naksir elo, eh lo nya masih aja nungguin manusia minim kepekaan itu." Ujar Fatimah menggebu-gebu. "Seandainya move on semudah membalikkan telapak tangan, mungkin gua udah jadian ama justin bieber." Canda Nayla. Fatimah menoyor kepala Nayla pelan. "Idih pede banget lo Nay, elo coba kode-kodein dong si Raihan nya." "Udah sering kali, fat. Ya, emang dasar Raihan nya aja gak peka. Gak pernah ikut pramuka kali tuh anak, gak ngerti yang namanya kode-kodean." Jawab Nayla asal. Sementara Fatimah udah ketawa ngakak mendengar jawaban Nayla. Obrolan kedua sahabat itu terputus oleh bunyi bel yang menandakan berakhirnya jam istirahat.