"Kaa, ayah sama ibu dah pulaang!!", teriak Ayu.
"Bener dek?", tanyaku.
"Iya kaa, cepetan bangunn", lanjutnya.
"Iya bentar bentar", jawabku.
"Kakak lama ih",
Dengan spontan adikku menarik tanganku dan benar saja badanku hampir terseret jatuh ke bawah kasur.
"Eh eh mau jatuh nih", kataku.
"Hehe sorry ka, abisnya ga bangun bangun sih", jawab adikku.
"Iya iya adek bawelku, ini lho udah bangun", kataku lagi sambil mengetuk kepalanya.
"Ih sakit tauu".
Setelah sampai di ruang tamu, ayah dan ibu memang sudah pulang. Ternyata adikku tidak bercanda kali ini. yaa karena dia sering ngibul jadi sulit percaya langsung.
"Ayah dan ibu baik-baik saja kan?", kataku.
"Oh iya nak, dan pekerjaan kami sudah selesai makannya kami pulang", kata ibu.
"Memangnya apa sih yang dikerjakan ayah dan ibu? Kok kalian kelihatan pucat dan banyak tekanan gitu Yah, bu?", kataku lagi setelah mengamati keadaan mereka.
"Gapapa kok, mungkin ini karena kecapean di perjalanan aja", sahut ayahku.
"Trus yang dikerjain ayah dan ibu kemarin apa?", tanyaku penasaran.
"Emm..",
"Eh yah kelupaan, oleh-oleh di mobil kan belum diambil, ayo ambil dulu yah kasian anak-anak nunggu", kata ibu kepada ayah. Mungkin ini sebagai pengalih perhatian dari pertanyaanku.
Tapi ya sudahlah, toh mungkin aku belum tentu paham apa yang dikerjakan mereka walaupun sudah dijelaskan.
"Adeek, cepetan ke bawah, ibu bawa oleh-oleh banyak nihh!", teriak ibu.
"Bentar ibuuu, Ayu turun dulu jangan dihabisin oleh-olehnyaa", teriak adikku.
Adikku menuruni tangga dengan semangat.
Gludak..
Karena saking semangatnya, adikku tersandung kakinya sendiri. Ia jatuh. Namun syukurlah dia tersandung kakinya saat sudah sampai anak tangga ke dua dari bawah.
Dan, yah, aku malah kelepasan tertawa melihat adikku.
"Ih kakak jahat, gk ditolongin malah diketawainn", kata adikku kesal.
"Hahaha kalo kamu yang jatuh, prinsip kakak ya 'diketawain dulu baru ditolongin', hahaha", jawabku sambil masih tertawa.
"Ah Ayu sebel sama kakakk!! Ibu, kakak gausah dikasih oleh-oleh aja yaa, liat Ayu jatuh gk ditolongin malah diketawain", ucap adikku kepada ibu.
"Siap komandan!!", jawab ibuku sambil tertawa kecil melihat tingkah kami.
"Sip prajuritt", canda adikku kepada ibu.
"Minggir hus hus aku mau lewat", kata adikku sambil mendorong badanku yang menghalangi jalannya.
"Silakan nyonya besar", jawabku.
Dia tertawa sambil mengambil semua oleh-oleh yang diberikan ayah dan ibu.
"Nih buat kamu", ucap adikku dengan jutek kepadaku.
"Beneran nih?", tanyaku.
"Iya", jawabnya.
"Makasiih adikku terbaweel", ucapku sambil mencubit dan menarik-narik pipinya.
"Iih kakaak", kata adikku dan pipinya jadi kemerahan.
***
Kami bercanda dan tertawa seharian setelah ayah dan ibu pulang, karena aku dan adikku sangat merindukan mereka.
Namun sepertinya mereka tidak bisa lepas tertawa. Seolah-olah ada beban dan tekanan terpancar dari mata mereka, terutama ayah. Aku memang tertawa dan bercanda lepas kali ini karena rindu, tapi aku juga mengamati ayah dan ibuku.
Sore pun sudah berganti senja, saatnya bagi kami untuk beristirahat di istana masing-masing. Ya mana lagi kalau bukan di kamar.
Mungkin kali ini adikku sedang bersenang-senang di kamarnya karena mendapat oleh-oleh banyak sekali. Dan mungkin baju yang dibelikan ibu tadi juga akan dipeluk terus sewaktu tidur. Tidak heran, dulu aku juga begitu saat dibelikan jaket baru, hahaha.
Aku memandang langit-langit kamar lagi. Sudah menjadi kebiasaanku begitu ketika sedang bingung, resah, atau mendapat masalah.
Mungkin kali ini aku resah terhadap sikap ayah dan ibuku. Bagaimana tidak, mereka tadi terlihat jelas kalau mereka sedang ada sesuatu. Seperti sedang menyembunyikan masalah, tapi seolah-olah tidak ada apa-apa dan tetap melayani candaanku dan adikku tadi.
Tak terasa, sungguh tak terasa, sudah hampir pukul dua belas malam. Ternyata memikirkan sesuatu dapat membuat lupa akan waktu.
Aku turun ke bawah dan berniat untuk mengambil minuman di dapur.
Tapi ketika lewat di depan pintu kamar ayah dan ibu, aku seperti mendengar mereka sedang berbicara tentang sesuatu.
Ku lambatkan langkah kakiku dan berjalan jinjit mendekati pintu mereka. Aku mendekatkan telingaku di pintu kamar mereka dan benar saja, aku mendengar pembicaraan mereka walaupun kurang jelas.
"Apa yang harus kita lakukan untuk mencegahnya?", kata ibu.
"Entahlah. Aku tidak mau dia jadi sepertiku, aku tidak ingin dia melakukan kesalahan seperti yang ku buat kemarin", jawab ayah.
"Kupikir juga begitu, tapi ingatlah ini sudah umurnya yang ke tujuh belas, mungkin saja dia sudah sedikit mengetahuinya", kata ibu lagi.
"Benar katamu, tapi apa yang bisa kita lakukan? Aku terperangkap di dua sifat ini dan sekarang aku takut sifat ini akan menurun padanya", ucap ayah.
Aku semakin penasaran mendengarnya. Aku makin mendekatkan lagi telingaku ke pintu.
Dugg..
Sial, kepalaku membentur pintu!
"Siapa itu?!", kata ibu. Aku mendengar suara langkah kaki, sepertinya ibu sedang melangkah ke arah pintu yang diluarnya ada aku yang sedang menguping.
Spontan aku lari dan bersembunyi di balik kulkas di dapur. Untung saja ibu belum sempat melihatku.
Sekitar lima menit aku di dapur, aku baru berani kembali ke atas. Ke kamarku.
Belum tuntas penasaranku terhadap sikap ayah dan ibu, sekarang malah ditambah lagi penasaranku terhadap apa yang dibicarakan mereka tadi.
Apa yang ingin mereka cegah? Kesalahan apa yang ayah maksud? Siapa 'dia' yang mereka bicarakan tadi? Sifat apa?
Tunggu..
Mereka tadi berkata, bahwa 'dia' berumur tujuh belas tahun. Dan ayah berkata bahwa ayah takut akan menurunkan sifat ini pada 'dia'.
Berarti,
Apakah 'dia' yang dimaksud itu aku?
Dan apakah sifat yang dimaksud itu sifat anehku akhir-akhir ini?
Lantas, apa kesalahan yang dilakukan ayah?
Apakah ada hubungannya dengan sifat ini?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Alter Ego
Mystère / ThrillerKau adalah diriku. Aku adalah dirimu. Kita ini satu. Kita adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan meskipun kau amat sangat membenciku. Aku akan selalu ada di mana kau sedang dihadapkan dalam sebuah pilihan. -Alter Ego-