..

714 95 35
                                    

Bagian Tiga: Satu

Sebenarnya, Wayo Panitchyasawad adalah bocah yang suka tertawa.

Dulu Phana sering melihatnya tertawa di kantin sekolah bersama sahabatnya (Mingkwan, kalau ia tidak salah ingat) sambil saling adu jotos atau menukar makanan satu sama lain. Ia juga pernah melihatnya tertawa senang ketika Phana berhasil mencetak three point saat pertandingan basket melawan sekolah tetangga. Seingat Phana, hal yang membuatnya jatuh cinta pada Wayo adalah tawanya saat mengobrol dengan anak kucing di ujung tangga.

Tetapi tiga tahun hingga akhirnya mereka bertemu lagi, Phana belum pernah melihat Wayo tertawa sebebas dulu; garis senyumnya tak pernah menyentuh ujung mata, suaranya tak pernah lepas, dan pipinya tak bersemu kemerahan seperti tawa yang Phana ingat. Wayo tertawa sebagai caranya bersopan santun, caranya menjadi anak baik, bukan karena ia ingin. Ini membuat Phana merasa kehilangan.

Salah satu mimpi Phana adalah dapat melihat Wayo tertawa lagi, dan lebih baik lagi tawa itu karenanya.

"Kau—dokter macam apa kau?!" Gustaf menarik telinga Phana gemas di depan Wayo, "sudah kubilang jangan terlalu sering memberikannya pink milk!"

"Aku kan memberikannya sebagai teman yang berkunjung, bukan sebagai dokter!" gerutu Phana gusar sambil berusaha melepaskan tangan Gustaf, "kau itu konsulen atau guru TK sih?! Hobi sekali menarik telingaku!"

"Karena kau—dan teman-temanmu itu—suka berkelakuan seperti anak TK!"

Phana memutar mata, "aku berani bertaruh Beam sudah meniduri lebih banyak wanita dibandingkan kau—umf!"

"Bocah kurangajar!" Gustaf langsung menyumpal mulut Phana dengan buah apel dari nakas di sebelah kasur Wayo, "aku bersumpah akan memberikanmu nilai F!"

"Tidak adil! Laporanku selalu sempurna!"

Kedua lelaki itu terus berdebat mengenai hal tidak penting—Gustaf memang cukup kekanakan, meskipun umurnya sudah sepuluh tahun lebih tua dibandingkan Phana—hingga Bibi Neen, pasien Alzheimer yang sudah sangat berumur, melempar mereka berdua dengan sendok karena berisik. Pipi Phana dan Gustaf langsung memerah karena malu.

Tetapi rasa malu itu terbayar ketika keduanya mendengar ledakan tawa Wayo yang dari tadi hanya menjadi penonton. Phana menoleh dan menatapnya seakan tersihir; bagaimana matanya menghilang saat tertawa, pipinya yang merona, dan suaranya yang tak lagi bersembunyi.

"Kalian memalukan," ujar Wayo ditengah tawanya, "aku akan meminta dokter pengganti besok."

"Hei!" Gustaf dan Phana berseru bersamaan, tidak terima. Namun itu malah membuat tawanya makin tak bisa berhenti.

Phana merasa jatuh cinta lagi.

Setelah kedua dokter itu keluar dari ruangan, Gustaf menepuk pundak Phana pelan sambil berkata penuh arti, "terimakasih."

Oh, bukan hanya dia yang rindu akan tawanya.

***

Bagian Tiga: Dua

"Dokter Pring, aku boleh bertanya?" suatu hari Wayo berkata pada Pring yang sedang mengunjunginya. Hari itu giliran Pring untuk berjaga dan memang sudah semacam kebiasaan bagi mereka untuk menengok Wayo sesekali tiap patrol, sekedar untuk menyapa.

"Tanya apa?" tanya Pring penasaran sambil mengupas kulit jeruk. Wayo yang memberikannya karena ia bilang tidak sanggup menghabiskan buah sebanyak itu sendiri. Ini yang membuat para dokter muda itu suka mengunjungi Wayo; snack gratis.

"Nggg... dokter," Wayo mendadak nyengir iseng, "suka Senior Phana ya?"

Pring yang barusan saja memakan jeruknya langsung tersedak, "a, apa?"

a sad love story is still a love story even if it hurtsWhere stories live. Discover now