...
Mulailah semuanya dengan senyuman. Pasti semuanya akan berakhir indah walaupun kenyataannya pahit.
...Mentari datang menyapa. Memancarkan sinar kehangatan. Burung berkicauan. Di sebuah ruangan, terlihat seorang pria sedang mengancingkan seluruh kancing kemeja. Ia berkaca pada cermin lemari. Terdengar helaan napas seakan sedang menanggung beban. Masih terngiang-ngiang di benaknya perihal pasangan hidup, padahal jika dipikirkan kembali, kejadian itu sudah lewat dari seminggu. Dia menghela napas lagi.
Laki-laki itu beranjak mengambil tas kerja yang berada di kursi, menuju dapur, mengambil gelas di rak. Lalu diambilnya satu sendok kecil kopi, satu sendok kecil gula dan tak lupa ditambahkannya susu. Menghidupkan kompor, diletakkan panci berisi setengah air ke dalamnya. Selama menunggu air mendidih, diraihnya roti tawar, diolesnya dengan selai rasa stroberi. Dia buat sepuluh tangkup roti untuknya. Sebagian lagi masuk ke dalam kotak bekal.
Begitu panci berbunyi, pria itu bergeser mematikan kompor. Diangkatnya panci itu, dituang isinya ke dalam gelas berisi campuran kopi, gula, dan susu. Diaduk, begitu siap diangkatnya menuju meja bersama roti. Dia makan perlahan-lahan sembari melihat keadaan rumahnya. Dia baru sadar bahwa sebagian isi rumahnya sudah hampir habis. Sabun pencuci piring, bumbu-bumbu dapur dan masih banyak lagi. Dia memang jarang masak karena dia sendiri lebih suka makan di luar. Hanya saat malam atau libur saja dia makan masakan rumah.
Pria itu mengembuskan napas lagi. Nanti sepulang bekerja dia akan belanja. Pikirnya. Ia masukkan kotak bekal dan mulai melangkah keluar rumah sederhana itu setelah menyelesaikan sarapan. Nanti siang akan ada seorang perempuan setengah baya datang untuk membersihkan rumah. Namanya Mbok Djum. Wanita itu selalu datang siang pukul sembilan dan akan pulang saat sore hari. Sekitar pukul tiga sore. Jadi, begitu pria itu sampai di rumah, rumahnya sudah bersih dan rapi. Dia hanya akan bertemu dengan Mbok Djum saat hari libur.
***
Laki-laki yang sedang berjalan bersama beberapa anak remaja itu, Dwi Rekshi Amarta. Dia terbilang ramah. Disapanya beberapa orang yang berada di luar rumah. Di antaranya ibu-ibu sedang menyapu jalan, seorang bapak sedang minum kopi sambil membaca koran di serambi rumah dan anak-anak berangkat sekolah atau kuliah pagi.
Dwi melangkah keluar kompleks rumah menuju jalan raya bersama beberapa anak sekolah yang searah dengannya. Mereka menunggu bus di trotoar. Begitu bus terlihat di netra, dia lambaikan tangan. Bus berhenti tepat di depannya, ia langkahkan kaki memasuki bus berdesakan dengan anak sekolah. Dwi harus transit dulu di Terminal Jombor untuk mengambil bus jurusan Malioboro. Lima belas menit kemudian dia sudah tiba di terminal.
Dwi turun dari bus dan beranjak duduk di salah satu kursi tunggu. Dia harus menunggu beberapa menit untuk bus jurusan Malioboro. Dwi duduk berdampingan dengan seorang wanita paruh baya. Begitu melihat busnya datang, dia berdiri dan beranjak memasuki bus. Tanpa sengaja dia bersenggolan dengan seorang wanita. Kepala wanita itu terbentur pinggir pintu bus.
"Aargh ...," rintih wanita itu seraya memegang kepalanya.
"Maaf, Mbak. Saya tidak sengaja. Silakan masuk duluan," kata Dwi.
"Ah ... iya. Tidak apa-apa. Terima kasih. Mari, Mas," kata wanita itu masih memegangi kepala yang berdenyut nyeri.
Dwi mengangguk untuk membalas. Wanita itu melangkah masuk. Mengambil tempat duduk di deretan bangku nomor empat. Tanpa disadari hanya bangku itu yang masih kosong. Selebihnya sudah terisi oleh para remaja berangkat sekolah.
Dwi masuk paling akhir, mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru bus. Mencari tempat duduk kosong. Matanya menangkap satu bangku kosong di deretan nomor empat. Dia melangkah cepat agar tidak keduluan orang lain. Begitu Dwi mendaratkan pantat di bangku bus. Ia mengembuskan napas lega. Dia masih kebagian tempat, pikirnya.
Dwi menoleh ke samping kanan. Dia mengenali wanita yang sedang duduk di sandingnya. Wanita yang sempat dia senggol hingga kepalanya terbentur pintu bus.
Bus melaju. Wanita itu mengalihkan pandangan ke samping. Matanya membeliak lebar. Mulutnya sedikit terbuka. Begitu Dwi melihat kembali ke arahnya. Perempuan itu gelagapan. Dia segera mengalihkan pandangan ke jendela bus kembali. Dia malu, pipinya merona, kontras sekali dengan pipinya yang putih.
"Sekali lagi, maafkan saya karena sudah membuat kepala Mbak sakit," ucap Dwi tiba-tiba merasa tidak enak.
"Ehm ... tidak apa-apa, Mas. Saya sudah tidak apa-apa kok," jawab wanita itu seraya tersenyum manis.
Dwi suka dengan senyuman itu, tanpa sadar ia ikut menyunggingkan senyum. Lantas ia berkata, "Saya Dwi. Mbak?"
"Ricka, Mas," jawab perempuan yang ternyata bernama Ricka.
"Saya panggil Dek, ya? Sepertinya Ricka lebih muda dari saya."
"Iya, Mas. Nggak apa-apa, kok."
"Dek Ricka kuliah atau kerja?"
"Kerja, Mas. Saya nggak sanggup bayar kuliah." Ricka tersenyum manis lagi. Menunjukkan sikap ramahnya.
Dwi tertegun menatap senyum manis Ricka. Entah kenapa ia suka sekali dengan senyuman itu.
"Kerja di mana?"
"Di restaurant, Mas. Mas sendiri?"
"Saya sudah kerja. Sebagai penganalisis data saja."
"Karyawan ya, Mas? Duh iri saya, Mas. Seandainya nilai saya bagus, saya sudah ngelamar di perusahaan besar."
Dwi tersenyum menanggapi. Kemudian ia berujar, "Walaupun nggak di perusahaan yang penting kan kerja halal. Perusahaan tempatku juga kecil kok. Belum besar."
"Iya, Mas. Alhamdulillah... Lama-lama juga besar, Mas, perusahaannya."
Mereka diam. Tidak tahu lagi apa yang mau dibicarakan. Sama-sama kehabisan bahan obrolan. Dwi merogoh saku kemejanya, mengambil benda persegi canggih, memeriksanya yang berdering menandakan ada sebuah pesan masuk. Di layarnya terpampang sebuah pesan dari temannya Aryo ---Sunaryo--- nama lengkapnya. Memberitahukan ada seorang klien menunggu di kantor. Ia abaikan pesan itu, ia tolehkan kepalanya ke samping kanan. Melihat jendela.
Bus berhenti sebentar untuk menurunkan penumpang. Ricka melihat jendela di sebelahnya, tersenyum kala matanya menatap sepasang remaja berboncengan sepeda berangkat sekolah. Ia menerawang ke masa-masa saat ia sekolah dulu. Matanya sudah berkaca-kaca ingin menangis mengingat masa lalunya. Tiba-tiba ia tersentak. Bahunya ditepuk seseorang. Ricka menolehkan kepalanya, mengerjap-ngerjapkan matanya agar air mata yang ia tahan tidak turun.
"Melamun, Mbak? Pagi-pagi kok udah melamun. Mikirin apa?" tanya Dwi.
Belum sempat pertanyaan itu terjawab, sang kondektur sudah berteriak Malioboro.
'Apa yang wanita itu pikirkan? Tadi ia tersenyum bahagia melihat jendela. Kenapa tiba-tiba jadi murung, matanya berkaca-kaca. Ada apa?' pikir Dwi.
...
To be continued
978 Words
Saturday, 16 Desember 2017
1.41 am.
(Editing typo : Thursday, 21 Desember 2017)
KAMU SEDANG MEMBACA
Till I Reach It [Complete] - Revisi
DragosteDwi berpikir bahwa ia harus mencari pasangan karena usianya yang sudah cukup matang yaitu 32 tahun. Tidak mungkin sampai tua ia akan melajang terus, ada saatnya ia tidak bisa berbuat apa-apa dan ia butuh seseorang yang mau mengurusnya. Ia butuh seor...