Wanita Dan Keimanannya

775 15 4
                                    

"Ya begininilah keseharianku. Aku mengajari anak-anak di sini untuk belajar Bahasa Inggris. Sebenarnya masih ada beberapa guru lagi di sini, namun mereka sekarang sedang berada di tempat pengungsian lain," cerita seorang gadis berkulit putih berhidung mancung yang mengenakan hijab berwarna peach. Jari-jemarinya terus menari menggerakan pena.

"Kau mencintai pekerjaanmu ini? Apa tidak sebaiknya kau ikut aku ke negaraku dan kita tinggal di sana. Aku yakin kita akan hidup bahagia, di sana lebih aman untukmu, Aisha," kata pria berbadan tegap sembari menyugar rambut pirangnya.

Gadis bernama Aisha itu menghentikan aktivitasnya, matanya membulat sempurna menatap wajah pria yang duduk di depannya. Bibirnya menyunggingkan senyum sinis membuat pria yang ada di depannya itu tak mengerti.

"Ikut ke negaramu, katamu?" Aisha melipat kedua tangannya di meja. "Tidak, Tristan. Aku tidak akan pernah meninggalkan tanah surga ini," ujar Aisha memalingkan wajahnya dari pria bernama Tristan itu. Ia mulai tak nyaman Tristan terlalu intens memandangnya.

"Tanah surga kau bilang? Are you kidding me?" Tristan mengibaskan tangan di depan wajahnya. "Hey, para orang terlaknat itu telah tega membantai semua keluargamu, saudaramu bahkan seluruh warga di negara ini. Kau bilang tanah surga? Demi Allah aku tak akan rela melihat orang yang kucintai tinggal di tempat seperti ini," ucap Tristan dengan tegas.

"Aku tak habis pikir dengan jalan pikiranmu, Aisha. Kau ini seorang wanita. Ok, kuakui kau punya jiwa mulia. Tapi kau harus memikirkan keselamatanmu. Aku tak bisa membayangkan jika orang-orang laknat itu juga memperlakukanmu seperti wanita lain diluar sana, memperkosamu dan membunuhmu," tak ingin berdebat dengan gadisnya itu Tristan memilih bangkit dan melangkah pergi.

"Tunggu," cegah Aisha saat kaki Tristan baru bergeser dua langkah dari tempat semula. "Kalau kau mencintaiku karena Allah kita bisa menikah dan tinggalah di sini bersamaku. Sungguh kau tak mengetahui keinginanku," imbuhnya.

Seketika tubuh Tristan terasa begitu kaku, kakinya mulai melemas. Andai saya tangannya tak memegang tiang penyangga tenda, pasti tubuhnya sudah terjerembam ke tanan. Ia tak menyangka gadis itu akan mengucapkan sebuah kata yang mampu membuatnya terlihat seperti orang bodoh, 'menikah'. Sudah lama ia memendam rasa pada gadis itu. Pertemuan mereka terjadi dua tahun lalu saat Tristan menjadi relawan bersama rekan-rekannya di tanah perang itu, Suriah. Tristan adalah pemuda muslim asal Inggris yang memiliki jiwa kemanusiaan yang tinggi.

Tristan memberanikan diri untuk datang lagi ke Suriah setelah dua tahun lamanya hidup dengan batin yang tersiksa oleh perasaan cinta. Ia berniat memboyong gadis pujaannya itu ke negara asalnya untuk ia nikahi. Ia berharap gadis itu bersedia menjadi penyempurna agamanya. Namun nyatanya gadis itu memilih tetap tinggal di tanah kelahirannya.

"Keinginanmu?" tanya Tristan sinis.

"Ku harap kau bersedia mendengar penjelasanku sebelum kau benar-benar pergi dari sini." Ujar Aisha lirih. Bagai sapi yang dicongok hidungnya pun Tristan menuruti permintaan Aisha. Pria itu meletakkan kembali tubuhnya di atas kursi yang semula ia duduki.

"Aku memang seorang wanita, Tristan." Ujar Aisha dengan tegas. "Namun apakah aku salah jika aku ingin mengabdikan seluruh jiwaku di jalan Allah? Sebagai pendidik aku hanya ingin membuat anak-anak di negeri ini menjadi anak yang cerdas. Aku yakin, jika mereka tumbuh menjadi anak yang cerdas mereka mampu melawan orang-orang laknat itu. Kekerasan harus dilawan dengan kecerdasan, Tristan. Aku tak ingin meninggalkan mereka. Aku tak akan membiarkan orang-orang laknat itu merenggut paksa akidah kami." Aisha kembali meneteskan air matanya. Tristan sangat ingin merengkuh gadis itu dan menghapus air matanya, namun ia sadar ia tak mengkin melakukan itu.

"Dan kenapa aku bilang tanah ini adalah tanah surga?" Aisha mengarahkan pandangannya pada Tristan, pria itu menggeleng lemah.

"Karena tempat ini memang lebih dekat dengan surga. Kau tahu kenapa? Karena setiap nyawa yang hilang di tanah ini aku yakin Allah telah menjanjikan surga untuknya. Orang-orang yang meninggal di tempat ini tetap memegang teguh akidah meski berbagai siksaan menimpa." Aisha mengusap air matanya. Tristan masih terdiam membisu, ia tak berani berkomentar.

"Saat Rasulullah mencium bau wangi saat melaksanakan isra' miraj, beliau pun bertanya: 'Wahai Jibril, bau wangi apakah ini?' Jibril pun menjawab, 'Ini adalah Masyitah dan anak-anaknya, ia adalah tukang sisir Firaun.' Jibril pun menceritakan kisah Masyitah yang sisirnya terjatuh saat ia menyisir rambut putri Firaun, Masyitah mengambilnya dengan menyebut Bismillah. Putri Furaun pun marah dan mengadukan hal itu pada ayahandanya. Firaun pun marah, ia mengancam akan membunuh Masyitah dan anak-anaknya jika ia tak mau murtad. Tapi Masyitah tetap berpegang teguh pada pendiriannya. Satu per satu anaknya di lemparkan ke dalam kuali besar yang berisi minyak mendidih, namun Masyitah tetap enggan menyerahkan akidahnya. Hingga hanya tinggal ia dan anaknya yang masih menyusu, anak itu berkata, 'Melompatlah ibu, jangan takut, sesungguhnya kau berada pada jalan yang benar,' kemudian dilemparkanlah Masyitah dan anaknya ke dalam kuali itu." Cerita Aisha panjang lebar pada Tristan.

"Dia wanita hebat, Tristan. Aku ingin seperti dia. Aku ingin mengabdikan diriku untuk Allah, aku tidak takut jika harus mati di tanah ini." Oceh Aisha.

Tristan menghela nafas panjang lalu menghembuskannya dengan kasar. Pria itu menyugar rambut puirangnya.
"Tapi Aisha.."

Belum sempat Tristan melanjutkan ucapannya, Aisha sudah menimpalinya. "Apa kau mencintaiku karena Allah?" tanya Aisha.

Tiba-tiba seorang gadis kecil berlari terengah-engah menghampiri Aisha dan Tristan. Wajah gadis itu terlihat ketakutan, matanya juga terlihat sedang menangis. Gadis kecil itu beringsut ke arah Aisha dan memeluk kaki kiri Aisha.

"Ada apa Fateema?" tanya Aisha lembut.

"Aku, aku mimpi buruk lagi Aisha. Aku melihat orang-orang itu membunuh kedua orangtuaku, membunuhmu dan juga aku. Aku takut Aisha, jangan tinggalkan aku." Oceh Fateem sembari menangis tersedu-sedu.

Fateema adalah gadis kecil berusia enam tahun, ia adalah anak asuh Aisha, kedua orangtuanya sudah meninggal dua tahun lalu akibat ledakan bom yang diluncurkan orang-orang terlaknat itu di negeri mereka. Aisha sudah menganggap Fateema sebagai anaknya sendiri, di tempat itu mereka sama-sama hidup sebatang kara, sama-sama mengharap uluran tangan orang-orang seperti Tristan. Relawan yang bersedia membantu mereka.

"Tenanglah Fateema sayang, aku tak akan meninggalkanmu. Kau aman bersamaku." Ujar Aisha lembut sembari meraih tubuh mungil Fateema ke gendongannya. Sekilas Aisha melirik Tristan yang menyaksikan adegan itu.

"Baiklah Aisha, kita akan menikah dan tinggal di sini. Kita akan menjaga Fateema bersama. Aku tak ingin kalian hanya tinggal berdua di tempat mengerikan ini." Ujar Tristan dan kemudian pergi. Aisha pun tersenyum menatap bahu Tristan yang kian menjauh dari pandangannya.

Tristan pergi bukan karena rasa sesal, namun ia pergi karena ia sudah tak sanggup lagi menahan rasa sesak di dada. Pria itu benar-benar ingin menangis. Bagaimana bisa ia kalah dengan wanita seperti Aisha, bahkan untuk pergi ke tempat ini pun ia harus berpikir ribuan kali untuk keselamatannya. Kenapa ia harus takut mati? Di mana imannya kepada Tuhannya? Berbagai pertanyaan itu berkecamuk di dalam benaknya.

Cerpen ini sudah terbit pada Antologi Cerpen berjudul BUKAN PEREMPUAN diterbitkan oleh penerbit Elmatera Pablishing karya FPNB (Forum Penulis Negeri Batu), yaitu sebuah forum untuk para penulis yang ada di kabupaten Gunungkidul dan sekitarnya. Gunungkidul adalah salah satu kabupaten di Yogyakarta.

 Gunungkidul adalah salah satu kabupaten di Yogyakarta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kumpulan Cerpen (Wanita Dan Keimanannya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang