Malam berikutnya, kami kembali mendatangi rumah gadis itu untuk mencari bayangan Peter. Saat gadis itu dan kedua adiknya sudah terlelap di ranjangnya masing-masing, aku dan Peter menyelinap masuk melalui jendela kamar mereka yang terbuka. Kami segera mencari dimulai dari balik rak buku, di dalam lemari baju, bahkan di bawah tempat tidur. Namun hasilnya nihil, bayangan itu tak kunjung kami temukan. Sampai tiba-tiba aku mendengar suara gaduh dari dalam laci nakas di dekat pintu kamar, saat itulah aku menduga bahwa itu adalah bayangan Peter.
Aku mengintip melalui lubang kunci laci tersebut, memastikan bahwa dugaanku memanglah benar. "Peter, aku menemukannya!"
Peter segera menghampiriku. "Benarkah?" tanyanya yang langsung kuberikan anggukan pasti. "Baiklah, bersiap untuk menangkapnya, ya! Satu... Dua... Tiga!" Peter pun membuka laci tersebut.
Aku mencoba memegang bayangan Peter, tetapi tanganku terlalu kecil untuk menahannya meski hanya sebentar. Aku malah terjerembap ke dalam laci nakas itu dan kesulitan untuk membukanya kembali karena tubuhku terlalu kecil. Melalui lubang kunci laci ini, aku hanya bisa melihat Peter yang dengan susah payah menahan bayangannya sendiri. Tak lama kemudian Peter pun berhasil menangkapnya dan berusaha untuk mengikatkannya kembali pada kakinya.
Padahal menurutku akan lebih mudah jika ia membawanya kepada suku Indian dan meminta tolong untuk disatukan kembali.
Namun ketika ia sedang berusaha mengikatkan bayangannya, gadis pendongeng itu terbangun dari tidurnya dan tersentak tatkala melihat ada seorang anak laki-laki asing di kamarnya. Peter pun sama terkejutnya dengan gadis itu hingga ia dengan refleks terbang menabrak langit-langit rumah.
"Wah, kau bisa terbang!" seru gadis itu.
Perlahan Peter turun dari langit-langit rumah dan berdiri di hadapan gadis itu dalam diam karena tak tahu harus menjawab apa.
"Siapa namamu?" Tanya gadis itu.
Peter mengerutkan dahinya. "Siapa namamu?" tanyanya balik.
"Namaku Wendy Moira Angela Darling. Siapa namamu?"
Raut wajah Peter tampak ragu untuk memberitahukan namanya, tetapi segera ia hapuskan keraguan itu. "Peter... Pan. Namaku Peter Pan."
Wendy tersenyum manis ke arah Peter. "Baiklah, Peter Pan. Apa yang sedang kau lakukan disini?"
"Aku sedang berusaha menyatukan kembali bayanganku yang lepas akibat anjingmu kemarin. Tetapi sulit sekali untuk menyatukannya kembali--"
"Oh! Aku bisa menjahitkannya kalau kau mau!" sela Wendy.
"Menjahit? Baiklah," gumam Peter.
Wendy pun segera menjahitkan bayangan Peter pada sepatunya dengan teliti dan hati-hati. Sesekali Peter memperhatikan wajah Wendy diam-diam, kemudian laki-laki itu tersenyum karena begitu menawannya paras Wendy di mata Peter. Aku yang hanya melihatnya dari dalam laci nakas ini merasa marah. Peter tak pernah tersenyum semanis itu kepadaku selama ini! Dasar, semua laki-laki memang hanya bisa tebar pesona sana-sini pada semua gadis!
Seselesainya Wendy menjahitkan bayangan Peter, kulihat Peter membisikkan sesuatu pada Wendy yang membuat gadis itu tersipu, semburat merah mulai nampak pada pipinya.
"Wendy, ikutlah denganku ke Neverland!" ajak Peter antusias.
Aku terkejut, begitu pula dengan Wendy. Apakah Peter sudah kehilangan akal sehatnya dengan mengajak seorang manusia ke Neverland? Aku pun menendang laci nakas ini dengan keras sehingga terbuka sedikit celah untukku keluar. Begitu aku berhasil keluar dari dalam laci, segera kuhampiri Peter dan berkata, "Hei! Kau tidak boleh membawa Wendy ke Neverland, Peter! Terlalu bahaya untuk-"
"Wendy, lihat ini, seorang peri!" sela Peter. "Namanya Tinkerbell, kau pasti akan menyukainya."
Wendy memperhatikanku dengan penuh rasa kagum. "Oh, ia cantik sekali, Peter," ujarnya, sambil berusaha untuk memegang wajahku.
Aku pun langsung menggigit jarinya hingga ia meringis.
"Tink! Kau tidak boleh seperti itu pada Wendy!"
Ah, lihat itu! Peter mulai membela gadis yang baru dikenalnya!
"Kupikir semua peri itu baik, Peter," ucap Wendy.
Apa ia bilang?! Maksudnya aku ini adalah peri yang jahat, ya?!
Peter melirik ke arahku sejenak. "Tenang saja, Tink adalah peri yang baik, sebenarnya. Ia hanya sedikit... berbeda ketika bertemu dengan gadis cantik sepertimu."
Aku tak percaya ini! Peter mulai merayu Wendy dengan kata-kata manisnya!
Aku menarik Peter ke sudut ruangan agar menjauh dari Wendy. "Menurutmu, apa yang sedang kau lakukan dengan merayunya, Peter?! Kau sudah memiliki bayanganmu, sekarang ayo kita kembali ke Neverland!" perintahku.
"Ya, kita akan kembali ke Neverland dan mengajak gadis itu bersama kita, Tink!"
"Apa? Tidak, Peter! Gadis itu tidak akan ikut dengan kita!"
Peter menggeleng mantap. "Tidak! Aku akan mengajak gadis itu ke Neverland, baik kau setuju ataupun tidak!" tentang Peter. Lalu ia kembali menghampiri Wendy yang dilanda rasa penasaran tentang apa yang barusan kami bicarakan.
Aku tersenyum getir. Memang selalu seperti ini 'kan? Semua laki-laki menganggap dirinya adalah tokoh utama dalam setiap cerita, mengutamakan perasaan mereka tanpa berpikir apakah orang lain menyukainya atau tidak, tanpa mau mendengarkan pendapat orang lain yang berbeda.
Peter pun demikian. Ia mengutamakan perasaannya pada semua hal yang ia inginkan, seperti pada Wendy. Ia terus membujuk gadis itu agar mau pergi dengannya ke Neverland, tanpa mempedulikan perasaanku.
Tanpa mempedulikan perasaanku bahwa aku menyukai Peter Pan.
[Fin.]

KAMU SEDANG MEMBACA
[1] Tinkerbell
Short StoryPeter Pan's Side Stories : [1] Tinkerbell Terkadang aku menyukai sifat Peter yang kekanakan; lugu, jahil, dan penuh dengan rasa ingin tahu. Sama seperti anak laki-laki lainnya, Peter juga suka mendengarkan dongeng menarik. Terutama ketika orang yang...