Sebentar lagi aku memasuki wilayah Brebes. Kota yang terkenal dengan bawang merahnya dan khas telur asinnya yang lezat. Dadaku bergetar hebat akan memasuki kembali masa lalu nan indah sekaligus pilu.
Suara klakson yang membuatku gusar. Aku mendesah resah, meneguk air mineral yang kuselipkan di belakang jok mobil. Berharap tetesan air mampu menenangkan hatiku yang mendidih.
Aku menyandarkan kepalaku ke jok mobil yang seolah terasa dingin. Risau bukan main hatiku saat ini. Namun, tidak dapat kupingkiri, rasanya selalu senang mengenang masa kecilku bersama kakak sepupu dan teman-teman terhebatku.
***
Semilir angin menyapu keheningan. Jam delapan malam di kampung, laksana jam dua dinihari di kota. Tak ada satupun manusia yang berkeliaran di luar halaman rumah atau sekadar membuka pintu dan mengobrol ringan seputar hari yang melelahkan di teras.
"Eh, kalian antarkan aku sampai rumah, ya," Kak Eli membereskan 'berjanji'nya usai pengajian ibu-ibu yang kini didekapnya di depan dada.
"Oi, tumben sekali kita pulang lewat lapangan bola. Kau ingin mengajak kita main bola, Eli?" Kak Fatin iseng menggoda.
Aku dan Kak Iin hanya menyelinginya dengan tawa. Udara di musim kemarau membuat tiupan angin terasa amat dingin. Aku merapatkan kerudungku ke dalam leher. Jika berbicara, suara kami naik turun, kalah dengan kencangnya desau angin.
"Ya, sekali-kali kalian mengantarku pulang. Baru kali ini kan kalian mengantarku sampai depan pintu? Hehehe." Kak Eli membenarkan jilbab putihnya yang berkibar.
Rumah Kak Eli memang persis di sebelah lapangan bola kebanggaan kampung. Setiap sore lapangan bola itu selalu ramai oleh anak-anak maupun pemuda-pemuda asal desa tetangga untuk beradu gol.
Malam ini kami kebagian berkeliling penduduk kampung yang jaraknya lumayan jauh di sudut Desa Beber, yang bersebelahan langsung dengan Desa Cigadung. Setiap bulan Maulid, kebiasaan masyarakat perempuan di kampungku adalah membuat pertemuan kecil dari rumah ke rumah. Ajang ini dilakukan untuk menjalin tali silahturahmi dan sosialisasi kepedulian antar warga desa.
Remaja tanggung seperti kami sih tidak perlu repot-repot menjadi tuan rumah. Berkunjung menyumbang suara saja sudah keren. Sejak kelas tiga sekolah dasar, aku dan remaja-remaja masjid yang usianya di atasku tidak pernah absen mengikuti acara pengajian ibu-ibu.
Sebut saja Kak Fatin. Usianya berjarak empat tahun di atasku. Kak Iin, tetangga depan rumah yang juga teman ngajiku yang usianya dua tahun di atasku. Juga Kak Eli yang usianya satu tahun dariku. Kami berempat berteman sangat dekat. Bukan karena aku tidak punya teman seangkatan di sekitar tempat tinggalku, bisa jadi karena aku lebih nyaman bermain dengan kakak kelas.
"Kita jadi mau lek-lekan, kan malam ini? Apakah kau sudah bilang pada ibumu, Nara?"
"Eh, iya Kak Iin. Aku sudah minta izin jauh-jauh hari pada ibu. Beliau sudah memberikan izin."
"Kita harus mengambil kue lebih banyak, In. Supaya tidak mengantuk semalaman." Kak Eli berbisik ke telinga Iin.
Kak Fatin yang mendengar langsung protes, "Jangan! Secukupnya saja."
Ya, memang begitu adanya. Tuan rumah yang mengadakan jatah giliran Maulidan, menyilakan kami mengambil sepuasnya makanan ringan yang tersaji di piring-piring untuk dibawa pulang. Katanya sayang jika tidak dihabiskan, bisa mubadzir hukumnya.
Malam ini langit cerah berbintang. Gugusan bintang penunjuk arah terlihat jelas dari tempatku berdiri. Membuat kedua mataku enggan berkedip memandangnya. Kadang saking asyiknya menikmati gemintang, langkah kakiku beberapa kali tersandung batu atau kayu karena terlalu lama menengadah ke atas.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESA TERKUTUK
RomancePotongan kenangan masa kecil itu, membuat Kinara semakin mantap membalaskan dendam pada orang-orang yang pernah menyakiti hatinya. Ia pun berniat membawa pergi nenek tercintanya dari desa terkutuk yang selama ini membesarkannya. ~ Cerita ini terins...