Bab Tiga

2.2K 309 29
                                    

***

Siang itu sangat panas dan sangat menyebalkan untuk Yunho. Meski di dalam cafe yang diberi penyejuk ruangan ia tetap merasa gerah, panas dan lengket. Tangannya yang terbalut perban membuat gerakan tangannya terbatas. Tapi ia harus mengucapkan terima kasih pada Junsu yang merawat lukanya hingga ia tidak terlihat seperti berandal jalanan yang berkeliaran dengan luka terbuka menjijikkan.

Ia mencari posisi yang nyaman, menyandarkan punggungnya di sandaran besi kursi cafe. Namun senyaman apa pun posisi duduknya, Yunho tetap merasa tidak nyaman dengan tatapan para yeoja yang berada di cafe itu padanya. Ia sangat benci menjadi pusat perhatian, ia lebih suka menyendiri dan tempat sepi. Sama sekali bukan gayanya untuk duduk di cafe dengan segelas kopi latte dingin tersaji di meja. Jika saja bukan karena janjinya dengan Ilwoo, adiknya, ia tidak akan mau berada di sini sekarang.

Yunho melihat jam tangannya. Limabelas menit. Ia sudah limabelas menit, duduk sendirian di cafe ini, menunggu Ilwoo yang ingin menemuinya. Memang sudah menjadi kebiasaan Ilwoo untuk terlambat setiap mereka membuat janji, justru Yunho akan sangat terkejut jika Ilwoo muncul tepat waktu.

Meski ia baru kembali ke dalam lingkungan keluarga Jung selama lima tahun tapi ia orang yang cepat mempelajari kebiasaan orang beserta kepribadiannya meski ia tidak tertarik sama sekali. Dan Ilwoo adalah orang yang paling tulus menerima keberadaannya apa adanya tanpa tuntutan lebih.

Awalnya Ilwoo selalu canggung berada di dekatnya dan akan lebih memilih pergi jika hanya berdua saja dengannya. Namun aikap canggungnya tidak berlangsung lama. Hingga kini justru hanya Ilwoo yang mau mendengarkan penjelasannya. Besar dipusat rehabilitasi mental membuat Yunho tidak terbiasa dengan keramaian, jika memang ia harus berada di keramaian ia akan merasa tidak nyaman. Ia juga tidak bisa menjawab pertanyaan setiap orang padanya, ia tidak bisa fokus. Ia binggung harus menjawab pada siapa dan menjawab apa. Namun jika hanya berdua ia bisa fokus pada setiap ucapan lawan bicaranya dan di keluarganya Yunho paling merasa nyaman untuk bicara pada Ilwoo.

"Oh, mianhae hyung. Aku terlambat." Ujar Ilwoo yang muncul dengan kaus putih berbalut jaket berwarna hijau tua. Keningnya terlihat basah oleh keringat, membuat rambutnya yang agak panjang basah di bagian ujungnya dan terlihat lepek. 

"Ada apa memanggilku kemari?" Tanya Yunho tanpa tedeng aling-aling.

"Kembalilah ke rumah hyung." Kata Ilwoo setelah ia duduk di kursi depan Yunho.

"Ayah yang menyuruhmu?"

"Aniya."

"Kalau begitu sebaiknya kau tidak perlu mengatakan apa pun padaku."

"Tapi Hyung..."

"Aku ada atau tidak ada, tidak akan mengubah keadaan di sana."

"Apa hyung akan kembali jika ayah yang meminta?" Tanya Ilwoo penuh pengharapan di matanya.

"Tidak."

Ilwoo menghela nafas panjang, ia sudah menduganya. Tidak akan ada hal yang bisa membuat Yunho mengubah pikirannya semudah itu. Meski ia sudah mengingatkan dirinya untuk tidak berharap tetapi tetap saja ia merasa kecewa. Ada perasaan bersalah atas apa yang terjadi pada kakaknya itu namun ia tidak bisa mengungkapkannya dengan nyata karena sifat Yunho yang tidak ingin dikasihani.

Ia kemudian mengambil dompet dari saku jaket bagian dalam, menarik salah satu kartu yang tersimpan rapi di dalam dompetnya. Ia menaruh kartu itu di atas meja dan menyodorkannya ke arah Yunho.

"Apa ini?" Tanya Yunho.

"Hyung bisa memakai kartu ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau apa saja itu terserah padamu. Aku juga sudah menyi--"

MADNESS (END)Where stories live. Discover now