Tangis Zahra pecah setelah memutuskan hubungannya dengan Julian. Cintanya berakhir. Memang Julian bukanlah cintanya yang pertama. Namun, Julian membuatnya mengerti apa itu kasih sayang.
"Astaghfirullah," ucap Zahra kemudian.
Ia ingat bahwa kini ia melupakan Tuhan. Ia lupa bahwa seharusnya ia menangis dalam doa, menyerahkan segalanya pada keputusan yang Esa. Zahra pun bergegas mengambil air wudhu, memakai mukena, lalu melaksanakan sholat isya' beserta sholat rawatib. Kemudian ia membaca doa setelah sholat dan tak lupa juga membaca doa sapu jagat. Barulah ia berdoa tentang keluhan hatinya yang terlantun dengan syahdu.
"Ya Allah. Jika dia bukan jodoh hamba, maka tolong jauhkanlah dia dari hamba. Berilah ia wanita yang jauh lebih baik daripada hamba, ya Allah. Dan jika dia adalah jodoh hamba, maka permudahkanlah hubungan kami. Jadikan hubungan ini sebagai hubungan yang halal dan Engkau ridhoi. Amin," ucap Zahra dengan menengadahkan kedua tangan lalu mengusapkan kedua telapak tangannya untuk menyapu wajah cerahnya.
Hatinya mulai tenang. Perlahan kegundahan dalam benaknya sedikit ringan. Ia pun melepas mukenanya, melipatnya dengan rapi lalu meletakkan mukena tersebut ke tempat semula. Kemudian ia memutuskan untuk tidur, berharap ia bisa bangun di tengah malam untuk menunaikan sholat tahajjud.
Zahra pun berbaring dengan mata mengerjap beberapa kali, menatap langit-langit kamar kos yang terasa hening. Beberapa bulan lalu Vera ikut program student exchange ke Malaysia. Sedangkan Mimin menginap ke kos temannya untuk mengerjakan tugas. Perlahan mata Zahra menutup, lalu ia memimpikan apa yang ingin ia mimpikan.
Harapannya terkabul. Setelah bermimpi menikah dengan Julian, ia terbangun di tengah malam. Lalu ia bertanya-tanya, pertanda apakah barusan?
"Kenapa aku memimpikan Kak Julian? Astaghfirullah." Zahra menggeleng, mencoba mengelak.
Segera, Zahra beranjak dari ranjangnya. Kemudian mengambil air wudhu, memakai mukena, lalu menunaikan sholat tahajjud. Doa yang sama masih terlantun indah. Namun, doa di tengah malam ini diselingi dengan iringan tangis air mata.
***
"Mana lelaki yang kau sebut-sebut sebagai pacarmu itu?" tanya Aba Zahra penuh selidik, membuat Zahra hanya bisa tertunduk kikuk dengan mulut terdiam. "Apa dia belum siap menikahimu?"
"Aba..." Zahra masih enggan.
"Sudah Aba duga. Pasti lelaki itu mencampakkanmu, bukan?" tebak Ayah Zahra salah besar. Bukan Julian yang mencampakkan Zahra namun Zahralah yang mencampakkan Julian. "Lelaki kota yang tampan dan hidup dengan mewah, mana mau menikahi gadis desa sepertimu!"
"Bukan, Ba. Aba keliru. Zahralah yang meminta hubungan ini berakhir. Zahra salah karena telah memilihnya," papar Zahra dengan dada yang terasa berat. Setiap kali mulutnya ingin berujar nama 'Julian', matanya ingin menumpahkan seember air mata.
"Kenapa kamu berpikiran seperti itu?"
"Dia adalah anak orang terpandang dan serba berkecukupan. Sedangkan Zahra hanyalah gadis desa yang nggak punya apa-apa. Zahra sadar kalau Zahra tidak pantas untuknya."
"Sudahlah kalau kamu sadar. Mulai dari sekarang, serahkan semuanya sama yang di atas! Jangan buru-buru mencari jodoh dengan jalan yang tidak benar seperti pacaran. Jika dia memang jodohmu, kelak Allah akan menyatukan kalian berdua. Jika tidak, pasti Allah sudah menyiapkan lelaki yang lebih baik dari dia."
Zahra mengangguk, matanya berkaca-kaca, ia mendengarkan setiap detail kata yang diucapkan ayahnya. Tangisnya pecah seketika lalu dipeluknya lelaki tua yang biasa ia panggil 'Aba'
***
Julian termenung sendirian di dalam kamarnya. Kata-kata pedas Zahra masih saja terasa perih di dadanya. Ia sudah tak bergairah melakukan apa-apa.
Dito
Bro, clubbing yukDibacanya pesan singkat dari salah satu teman lamanya. Ia berpikir sejenak, mengingat kembali masa mudanya yang sering keluar masuk club malam hanya sekedar melepaskan stress dan bercumbu dengan beberapa wanita di sana.
Julian Prasega
YukJulian akhirnya membalas setelah beberapa lama berpikir, menimbang-nimbang rasa sakitnya yang terasa sangat berat. Rasanya ia butuh alkohol untuk menghilangkan kata-kata pedas Zahra agar pikirannya terasa ringan. Julian pun segera mengenakan jaketnya, mengantongi dompet, dan mengambil kunci mobil. Ia bergegas menuju club malam yang hanya berjarak beberapa kilometer dari rumahnya.
"Eh Nak Julian mau ke mana?" tanya Kiai Suyuti yang kebetulan lewat di depan rumah Julian. Lelaki tua dengan jenggot putih itu tampak datang dari arah masjid, sepertinya ia baru pulang shalat isya' berjamaah.
Julian terhenti, ia melepas helmnya lalu menatap Kiai Suyuti sejenak lalu menunduk malu, mengingat tempat yang akan ia kunjungi malam ini.
"Kok nggak jawab?" tanya Kiai Suyuti setelah beberapa saat menunggu.
Kiai Suyuti adalah salah satu pemuka agama yang sering Julian kunjungi ketika ia ingin mengenal Islam lebih jauh lagi setelah mengenal Zahra. Ia kerap kali menanyakan perihal agama pada Kiai Suyuti. Tapi setelah Zahra mencampakkannya, ia tidak pernah lagi pergi ke rumah Kiai Suyuti. Ia malah lebih suka berdiam diri di dalam kamar sendirian sambil mendengarkan musik-musik rock.
"Pak Kiai, apa saya boleh ke rumah anda? Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan," ucap Julian memberanikan diri.
"Iya. Tentu saja. Rumah Bapak selalu terbuka untukmu, Nak," ucap Kiai Suyuti dengan senyuman lebarnya, ia senang Julian mau pergi ke rumahnya meskipun hanya sekedar bertanya. Ia hanya berharap bisa berbagi ilmu selama napasnya masih berembus.
Sesampainya di rumah Kiai Suyuti, Julian disuguhi secangkir teh hangat dan sepiring makanan kering. Ia pun melepaskan jaketnya dan bercerita panjang lebar tentang semuanya pada Kiai Suyuti. Ia bercerita bagaimana ia begitu mencintai gadis yang bernama Zahra. Sementara Kiai Suyuti hanya mengangguk, ia begitu mengerti apa yang dialami Julian saat ini. Ia juga memahami betapa sakitnya hati Julian saat ini.
"Saya sangat mencintainya, Pak Kiai. Bagaimana pun juga, saya ingin hidup bersama dia selamanya," lanjut Julian, masih saja tak puas setelah bercerita panjang lebar.
"Bapak mengerti, Nak. Tapi apa boleh Bapak menanyakan beberapa pertanyaan padamu?"
Julian hanya mengangguk ringan.
"Apa Nak Julian sudah sholat isya'?"
Julian menggeleng malu. Kalau diingat kembali, hari ini ia sudah meninggalkan sholat dhuhur, ashar, dan maghrib. Sementara waktu sholat isya masih ada. Belum terlambat baginya untuk menunaikan sholat isya' sekarang juga.
"Sudah berapa sholat wajib yang kamu tinggalkan hari ini?" sambung Kiai Suyuti.
Julian hanya tertunduk, ia merasa malu. Bukan malu pada Kiai Suyuti. Ia malu kepada Tuhan.
"Apa gadis yang bernama Zahra itu pernah meninggalkan sholat?" Kiai Suyuti menambah.
Julian tak berani berujar. Ia hanya menggeleng.
"Nah, itulah sebabnya yang membuat kalian sulit berjodoh," imbuh Kiai Suyuti, membuat kepala Julian terangkat dengan mata terbelalak kaget.
"Maksud Pak Kiai?" Dahi Julian berkerut.
😆😆😆
Bagaimana percakapan Kiai Suyuti dan Julian selanjutnya? Stay tune ya...
Jangan lupa vote dan komen agar author lebih semangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wonderful Heart Zahra
روحانياتBerawal saat Zahra tidak sengaja tertabrak dengan seorang cowok bernama Julian Prasega yang merupakan idola kampus. Tabrakan itu membuat Flash disk penting milik Julian rusak sehingga Julian menuntut Zahra untuk bertanggung jawab atas file-file y...