12

285 15 0
                                    

Sembari menatap pusara ibunya, yang berjejer dengan pusara Engku Kabanaran dan Emak Nurdia dari jauh, lelaki itu melangkah lemah meninggalkan tempat itu.

Dia berjalan tak tentu arah. Dia melangkah dalam hutan belantara itu tak tentu sambangannya. Akan tetapi Pendekar Gunung Sangku berjalan taklah menuruti jalan setapak yang menghubungan Sungai Penuh dengan Sungai Tampudau.

Dia berjalan menyelinap dalam pekatnya hutan. Dia meniti pematang rimba raya yang demikian padat dan beronak duri. Dia melangkah disela-sela kayu-kayu besar yang ketika itu belum lagi dijamah manusia.

Bersama langkah-langkahnya yang kadang terasa lelah, lelaki ini selalu memanggil-manggil ayah, ibu, guru dan Emak Nurdia.

Kadang dia menghentikan ucapannya, ketgika dia sadar bahwa apa yang diucapkannya itu tak akan ada jua artinya. Dia selalu berniat untuk membalas dendam yang amat menyenak di dadanya.

Menurut kata hatinya, taklah ada sakit sesakit ini. Inilah racun dunia yang tak akan pernah ada obatnya. Kalaulau tak dapat dendam terbalas, taklah perlu dia hidup lagi.

Tanpa makan dan minum, dia terus jua berjalan. Entah telah berapa lamanya lelaki itu melangkah, entah telah dua, tiga atau empat jam perjalanan.

Ketika bertemu dengan serumpun kesumik, semacam buah kayu yang boleh dimakan, Pendekar Gunung Sangku mengambil dan memakannya.

Ketika hendak minum, dia ambil akar kayu sebesar lengan dan dia putuskan dengan tangannya saja. Ia tampungkan mulutnya kepada ujung akar yang meneteskan air itu.

Sehabis itu dengan membawa setandan kesumik, Pendekar Gunung Sangku melangkah melanjutkan perjalanan yang belum tahu entah dimana ujungnya ini.

Pendekar Gunung SangkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang