Bab 38

1.9K 129 14
                                    

Oiy,
Aku apdet kali ini lama, yekan?

Maap ding,

Oiya, aku saranin baca ulang part kemarin, kali aja lupa jalan ceritanye sampe mana. Huehe...

Happy reading, enjoy!

Firda hokyah,

29 Des 2017

________________________________

"Sama cewek lain yang nembak lo, lo nggak pernah semarah ini, Al. Tapi kenapa sama gue beda?"

"Karena itu, lo!"

Entah kenapa, kalimat itu terasa sangat menohok hati Sinta hingga membuatnya tercekat. Takut, kecewa, sedih, bingung, semua rasa itu bercampur menjadi satu.

Sinta masih sangat kesulitan memahami apa maksud dari ucapan Alden. Baginya itu terlalu rumit. Sinta hanya ingin tahu, jawaban Alden iya atau tidak. Itu saja. Namun Alden malah bersikap menghindar ketika dimintai kejelasan.

"Gue marah karena yang nembak gue itu, lo!"

Mata mereka saling mengunci. Sorot tegas milik Alden beradu dengan sorot mata menuntut milik Sinta.

Tidak ada hal lain yang bisa Sinta lakukan selain mencengkram ujung roknya kuat-kuat.

Tolong katakan pada Sinta bahwa ini adalah pertanda baik!

Ada saatnya ketika seseorang merasa bagian tubuhnya tidak berfungsi dengan benar. Dan Sinta sedang merasakannya saat ini.

Otaknya memaksa untuk berpikir, namun menerjemahkan makna ucapan Alden sama sekali tidak Sinta pahami.

Hatinya memaksa untuk mengerti, namun sangat sulit sekali untuk menerima kenyataan.

Lidahnya memaksa untuk membantah, namun lagi-lagi bungkam yang menghambatnya.

Sementara tangan ini, mereka memaksa untuk setidaknya dapat menjambak rambut Alden, namun menggapai pun tidak mungkin untuk Sinta lakukan.

Semuanya salah, bahkan jantung yang tertusuk di dalam sana pun menjerit ingin keluar. Namun justru perkataan Alden selanjutnya semakin mendorong belati itu menembus jantung Sinta lebih dalam.

"Gue nggak peduli sama siapapun cewek yang nembak gue, karena emang gue nggak peduli. Tapi kenapa harus, lo? Itu yang bikin gue marah!"

Sinta berusaha menelan napasnya yang tercekat di tenggorokan. Dia harus bicara. Pertannyaan yang bersarang di kepalanya harus mendapat jawaban dari Alden. Harus.

"Jadi, maksudnya, gue nggak boleh nembak lo, gitu?"

"Enggak!"

Jujur, itu terlalu menyakitkan.

Jika saja Sinta tidak memikirkan harga dirinya di depan Alden, mungkin saja Sinta sudah menangis tersedu sekarang. Ya, walaupun harga diri itu sempat Sinta buang kemarin, setidaknya Sinta tidak boleh terlihat lemah.

"Ya, tapi kenapa, Al?"

Alden membuang muka acuh.

"Harus ya lo ngungkit soal itu terus?"

Detik berikutnya Alden berbalik untuk pergi. Namun Sinta segera tanggap dengan langsung mencekal tangan itu sebelum menjauh. Kemudian mereka berdua kembali berhadapan.

"Jawab dulu, Al! Kasih gue alasan biar gue bisa terima!", bentak Sinta dengan emosi tertahan.

"Karena gue yang harusnya nembak, lo!", Alden balas membentak.

Kembar yang Dikembar-kembarkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang