My Crazy Imagination

212 12 0
                                    

My Crazy Imagination

Aku punya imajinasi. Khayalan gila. Kalian pasti tidak bisa menebaknya.

Bahkan sebelum melayang terbius ke dalam gulita, aku sudah merancang detailnya.
Aku ingin jadi pelacur tingkat tinggi. Bukan penjaja seks murahan yang nangkring di pinggir jalan dengan dandanan menor seronok. Bukan pula para cewek panggilan berkedok intelektual yang bisa dihubungi orang-orang tertentu dan menerima tawaran dari ukuran uang. 

Ada rumah besar. Mansion. Lengkap dengan kamar-kamar sekelas hotel bintang 5, butik, beauty center, fitness center, layar raksasa menyuguhkan blue film 24 jam lamanya. Tak lupa perpustakaan pornografi, kolam renang, dan spa.

Penyeleksian klien lewat ruangan tembus pandang. Aku benci om-om manula buncit flamboyan atau cowok berondong kerempeng culun jerawatan. Aku akan memilih klien yang dipamerkan seperti tersangka kriminal di kantor polisi. Dengan jari lentikku - kuacungkan telunjuk pada pilihanku. Mungkin “dia” bakal muncul dan kupakai.
Jadi, siapa yang melacurkan diri sebenarnya?

Aku telah menemukan kehidupan yang ingin kujalani. Hm, sebenarnya tidak betul. Aku hanya berhasil meloloskan diri dari borgol pembatas langkahku. Walau itu berarti mengorbankan kehidupan normatifku, I don’t care. Hidup hanya sekali. Dan singkat. Kedengaran klise, tapi itu yang sebenarnya. Aku menyadarinya di usia yang agak terlambat, dua puluh lima tahun. Saat lenganku tidak berhasil menggandeng “dia” alias “the “one” (atau yang kuharap adalah “the one”), aku memutuskan melepas harapan atas kehidupan normal. Aku tidak ingin jadi parasit lajang, meminjam ungkapan dari Ayu Utami. Menjadi lajang bukan berarti harus jadi parasit, kan?

Aku ingin hidup sebebas burung dan lebih penting lagi, membebaskan diri dari beban duniawi. Semuanya toh hanyalah bullshit.

Maka dari itu, aku pun menghadapi realitas yang membesarkanku.

“Ngapain sih kamu kos? Buang duit aja,” Mama mengernyit.

Aku tetap bergeming. Tinggal bersama orangtua walau tidak 24 jam lamanya tetap membuatku merasa terpenjara. Lahir dan batin. Bukan semata soal peraturan dalam rumah, tapi lebih merupakan beban moral yang seharusnya diemban seorang anak. Aku tidak sanggup becermin diriku yang kotor dan menjijikkan pada bola mata mereka yang keruh. Lebih baik aku pergi, menulikan telinga dari semua keberatan dan cercaan non-permanen ketimbang pelan-pelan jadi gila permanen.

“Terus, kenapa kamu mau keluar kerja? Bukannya gaji kamu sudah lumayan? Memangnya kamu punya rencana apa?” cecar Papa.

Aku mengangkat bahu. Yang pasti, aku tidak mau menyiksa diriku lagi dengan melek jam 7 pagi untuk masuk kerja tepat jam 8 lalu berperan sebagai robot sampai jam 5 sore. Aku ingin hidup dengan waktu siesta sesukaku. Walau, kalau dipikir-pikir, tanpa uang tidak bakal mungkin bisa siesta.

Lingkaran setan yang menjengkelkan memang.
Aku lantas berjalan lunglai keluar rumah, menenteng dua buah koper penuh sesak. Aku tidak akan kembali.
*
Aku benci mandi. Tidak ada water heater di tempat kosku. Sudah hampir setahun ini aku tinggal di kos-kosan. Dengan kamar berukuran 3 x 3 meter aku merasa seperti pelarian yang hidup sekenanya. Seperti rumput liar bernama Sanchai dalam drama MG (Meteor Garden). Sayang tidak ada xiao yeh (tuan muda) bernama Tao Ming Se.

Malam dan pagi yang dingin di kota Bandung membuat penghuninya malas beranjak. Tua dalam rumah.

Bagiku mandi hanya sekadar formalitas. Kurang dari lima menit seharusnya cukup.

“Fleur, lo tuh mandi atau cuma mampir doang sih?” Jeli, singkatan dari Jelita. Ia cewek paling rese yang pernah kutemui. Manis seperti permen, tapi rese - seperti permen jeli yang sering nyelip ke sela-sela gigi dan bikin gigi bolong.

The Story of...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang