Dua

20 2 0
                                    

Januari 2006

Hari Sabtu selalu jadi hari terbahagia bagiku. Pulang sekolah lebih awal, lalu sorenya kursus bahasa Inggris. Aku suka sekali belajar di sana. Bertemu teman-teman keturunan Tionghoa yang tidak kupunyai di sekolah, diajari bahasa Mandarin oleh mereka.  Rambut mereka yang lebat dan lurus selalu diberi gaya yang keren-keren. Barang-barang seperti tempat pensil dan binder mereka juga unik-unik. Entah di mana mereka membelinya, mungkin di luar kota ya?

Aku selalu bahagia setiap kali melangkah ke gedung kursus. Aku semakin bahagia melihat wajah ramah Miss Meisy (tutor bahasa Inggris kelasku) yang sudah menunggu di pintu kelas.

"Good afternoon, Fira." sapanya tanpa mengurangi tingkat keramahan di wajahnya.

"Good afternoon, Miss!! I'm very happy to see you again!!"  kataku tanpa basa-basi.

Miss Meisy tergelak. "Dari ekspresi Fira juga Miss sudah tau. Fira selalu semangat datang kursus ya."

Aku mengangguk-angguk ceria agak tidak keruan. Tak lama setelah kami masuk ke dalam kelas, bel tanda kursus dimulai pun berbunyi. Aku dan beberapa teman yang sudah hadir langsung saja mengeluarkan modul. Lalu dari pintu kelas tampak Mister yang aku tak tau namanya beserta sepasang anak-anak yang terlihat sangat sumringah. Yang seorang laki-laki, seorang lagi perempuan.

"Excuse me, Miss Meisy. Ini ada beberapa siswa baru yang akan belajar di kelas Anda." kata Mister tersebut. Miss Meisy mengangguk kemudian mempersilahkan kedua siswa baru itu masuk ke kelas.

"Allright, students. Hari ini kita kedatangan teman baru. Ayo silahkan perkenalkan diri kalian di depan teman-teman lain. Kalau belum bisa dalam bahasa Inggris, boleh pakai bahasa Indonesia." bimbing Miss Meisy.

Setelah sempat saling sikut, akhirnya yang laki-laki mengalah dan maju satu langkah.

"Halo, semua. Nama saya Habibi. Saya dari SDN 13. Dan yang ini adik saya." Habibi menarik adiknya ke sampingnya.

"Ha.. Halo. Nama saya Aina. Saya juga dari SDN 13. Saya adiknya Habibi." jelas sekali Aina malu karena wajahnya langsung kemerahan.

Miss Meisy menyuruh keduanya duduk. Seperti biasa, sudah menjadi tugasku setiap kali ada siswa baru untuk menuliskan kalimat introduction dan conversation dasar yang harus mereka hafal. Tanpa dikomando akupun langsung maju dan menuliskannya di papan tulis secara berurutan. Sudah hafal betul sih.

Selesai menulisnya, aku kembali duduk di kursiku. Sekilas aku melihat Aina dan Habibi sedang serius mencatat tulisanku di papan. Mereka duduk tak jauh dariku.

"Hei, Habibi. Kamu kelas berapa?" tanyaku.

Kegiatan mencatat Habibi yang sangat serius terhenti kemudian ia melihatku. Sambil tersenyum dia menjawab "Aku kelas 4. Kamu kelas berapa?"

"Wah aku juga kelas 4! Adikmu kelas berapa?"

"Dia kelas 3. Kami cuma beda setahun."

Aku mengangguk-angguk dan mulutku membentuk huruf O.

Februari 2006

Tak butuh waktu lama bagi aku, Habibi, dan juga Aina untuk menjadi akrab layaknya anak-anak lain. Lihat saja, hari ini kami sudah berlarian sana-sini di gang belakang gedung kursus. Sambil tertawa kegirangan kami saling tarik dan dorong. Habibi selalu membicarakan hal-hal menarik, aku dan Aina menjadi pendengar setianya setiap Sabtu. Aina sendiri sudah ku anggap seperti adikku sendiri. Dia manis, juga terlalu polos hingga selalu jadi sasaran keusilan Habibi. Dan biasanya kalau Aina sudah kesal, dia akan berlari dan mengadu kepadaku.

Kami duduk di trotoar depan gedung kursus sambil mengunyah jajanan masing-masing.

"Kak, besok datang dong ke rumah kami biar kita bisa main-main." tiba-tiba saja Aina bicara seperti itu.

"Iya iya betul! Besok kita mau main air di kolam plastik. Kami baru beli tuh! Kamu ikutan yuk Fir!" tiba-tiba lagi Habibi menimpali ajakan Aina.

Aku hampir saja tersedak dengan makananku.

"Gimana ya? Rumah kalian jauh sekali dari rumahku. Ayahku ga bisa nganterin besok." tolakku terpaksa. Seketika wajah Aina menjadi mendung.

"Kok ga bisa? Ayahmu yang selalu jemput itu kan?" tanya Habibi.

"Iya, ayahku kan harus kerja besok."

"Kerja apa sih hari Minggu? Kan kantor libur?" rasa penasaran Habibi seperti tidak ada habisnya.

"Yah ayahku sih gak kerja di kantor. Kerjanya membangun rumah! Mana ada liburnya." kataku setengah manyun.

Habibi berhenti mengunyah, lalu melihat ke arahku. Ragu-ragu dia bertanya, "Ayahmu... Kerja bangunan, gitu?"

Aku yang tidak mengerti arahnya ke mana cuman mengangguk. Sesaat setelah itu aku sadar ada yang tak biasa dari ekpresi wajah Habibi. Sesuatu yang sulit aku gambarkan, seperti ekspresi takut? Bukan! Jijik? Kenapa Habibi menjadi jijik?

"Aku mau nangis aja kalo Kak Fira ga datang besok!" Aina tiba-tiba tambah merajuk. Aku yang sibuk membujuk Aina tidak memperhatikan lagi perubahan ekspresi di wajah Habibi.

Sabtu berikutnya.

Aku datang sedikit terlambat hari ini. Ku lihat Miss Meisy sedang menyimak setoran hafalan vocab dari Aina. Aina melirik kemudian melempar senyum padaku. Aku membalas senyum dan mencari tempat duduk di sebelah Habibi, seperti yang biasa aku lakukan Sabtu-Sabtu yang lalu.

"Hei kamu udah setor juga?" tanyaku.

Habibi diam. Dia bahkan tidak berpaling ke arahku. Aku merasa sedikit janggal dan memilih untuk membiarkannya saja.

Jam istirahat, Aina menggandengku pergi ke warung yang menjual jajanan. Tapi tidak dengan Habibi. Dia memilih berjalan jauh di belakang kami. Aku sempat ingin menanyakan kondisi Habibi tersebut pada Aina, tapi lagi-lagi aku memilih diam.

Juga setelah selesai makan, Aina mengajakku berlarian seperti biasa. Tapi tidak dengan Habibi. Ia hanya diam bersandar di tembok mengamati  kami bermain. Lalu saat aku menoleh ke arahnya, berkali-kali dia kedapatan membuang muka. Akupun tersadar Habibi tak ingin lagi berteman denganku, entah apa alasannya. Dan sekali lagi aku tersadar, inilah kelanjutan dari ekspresi anehnya Sabtu lalu. Dia tidak mau berteman denganku karena aku anak seorang pekerja bangunan.

September 2014

Oning dan aku sama-sama baru diterima di Universitas. Oning di kota kelahiran kami, sedangkan aku di kota yang lebih jauh. Sudah seminggu kami merasakan menjadi mahasiswa baru. Aku dan Oning selalu berbagi cerita meskipun kami terpisah jauh.

Hari ini ku lihat Oning mengunggah foto masa orientasi jurusannya. Oning terlihat diapit beberapa teman sesama mahasiswa baru. Aku tersenyum sekilas mendapati kenyataan bahwa Oning akhirnya memiliki teman-teman baru yang kali ini tidak ku kenal.

Aku masih memandang fotonya hingga aku tersentak karena satu hal. Fokusku tertuju pada satu wajah yang ada di dalam foto. Ini benar... Habibi??

Aku mencoba mengumpulkan ingatanku tentang rupa Habibi saat SD dulu. Benar, ini dia. Ternyata dia sejurusan dengan Oning sekarang. Dunia memang begitu sempit.

Aku tersenyum pahit ketika memikirkannya, setelah bertahun-tahun ini, adakah terbersit rasa bersalahnya, walau hanya sedikit, telah mengabaikanku hanya karena pekerjaan orang tuaku?

Hah, aku ini mikirin apa sih? Tentu saja dia bahkan sudah tidak ingat lagi orang kecil sepertiku.

TemanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang