3

11 2 0
                                    

Cafe diam tidak menjawab pertanyaan Moka. Moka jadi merasa bersalah atas apa yang sudah bibirnya ucapkan. Ia merutuki dirinya dalam hati.

"Maaf, anggep aja angin," ucap Moka datar.

"Kita jalanin aja dulu," sahut Cafe lalu tersenyum pada Moka.

Moka melirik Cafe yang tersenyum padanya.

"Gue lancang banget, ya?" Moka berusaha bertanya sedatar mungkin.

"Bukan lancang, cuma berani frontal," jawab Cafe lembut.

"Maaf," suara Moka terdengar sendu.

"Ah, ga asik! Gausah melow, gue gak sedrama itu," Cafe berusaha mengembalikan suasana ceria.

"Susah kali ya naklukin hati seorang Cafelia?" Moka menolehkan kepalanya pada Cafe.

"Buat nyaman, tak akan ada yang berani meninggalkan," sahut Cafe santai.

"Gue cuma bisa usaha, yang nentuin rasa tetep hati lo,"

"Kita ga bisa nilai rasa dari satu atau dua kali ketemu, bisa jadi itu cuma numpang lewat,"

"Kita? Cie udah pake kita-kita aja,"

Cafe kembali merasa kedua pipinya merah.

"Blushing ya?" Moka bertanya polos.

"Dasar cowok ya, pada les gombal di mana sih?"

"Di rumah rasa yang beralamatkan kampung bahagia, jalan kasih, gang cinta, nomor sayang, beralas tulus, dan beratap setia," jawab Moka absurd.

"Kalo ada batu udah gue timpuk!" seru Cafe gemas.

"Tega sama calon?"

"Calon apa?'

"Calon pembantu.."

"Yee... mau jadi pembantu?"

"Pembantu mencari nafkah, mengimami, dan menuntun kamu jadi istri sholehah,"

"GOMBAL LO RECEH!" teriak Cafe memukul geram lengan kiri Moka. Ia menyimpan tawa gelinya.

"Tapi suka, kan?" goda Moka lagi.

Lagi-lagi pipi Cafe merona.

"Gak. Sukanya buku aja,"

"Biarin, ntar gue jadi kertasnya. Buku tanpa kertas mana bisa?"

Lagi dan lagi Cafe blushing dibuat oleh Moka. Tanpa mereka sadari, mobil Moka sudah tiba di parkiran sekolah. Rasa-rasanya baik Cafe maupun Moka enggan untuk mengakhiri moment ini.

"Yuk ke kelas!" Moka membuka pintu mobil untuk Cafe. Cafe tersenyum hangat oleh perlakuan Moka.

"Gue berasa jadi putri raja," ucap Cafe
lebih teruntuk dirinya sendiri.

"Lebay banget," sindir Moka.

"Suka ngerusak mood orang, yaa!" cibir Cafe berjalan mendahului Moka. Moka menahan pergelangan tangan Cafe.

"Sebagai calon pacar yang baik aku mau kita akur terus," bisik Moka di telinga Cafe. Cafe menahan senyumnya dan pura-pura marah.

"Lho?! Cafe? Moka?" seru Audy--teman satu bangku Cafe di kelas kaget melihat dua makhluk pujaan di sekolah jalan bareng.

Moka memasang tampang datar yang selama ini selalu ia tunjukkan di sekolah. Tampang yang pernah Cafe kira tak bisa beramah tamah. Tampang yang begitu dingin tak berani sekedar menyentuh karena takut mati kedinginan dan mati beku.

"Hai, Dyy! Kalo gitu gue ke kelas bareng Audy aja, Mo," sapa Cafe lalu hendak berjalan menghampiri Audy.

"Gak!" Moka menahan lengan Cafe.

"Gapapa, Cafe.. Gue duluan! Have fun, ya!" Audy berlalu dengan wajah yang bisa dikatakan senyum terpaksa.

Cafe menatap Moka tak suka. Apa maksud Moka menahannya? Belum jadi pacar saja Moka sudah berani melarang Cafe. Cafe membuang muka, tak mau menatap dan melihat Moka.

"Maaf. Gak bermaksud apa-apa," ucap Moka datar.

"Lo belum berhak ngatur-ngatur gue," ketus Cafe.

"Yang perlu lo tau, semua cewek di kelas kita kecuali lo sama Tirta gencar deketin gue, termasuk Audy. Gue cuma mau orang tau sekarang kalo gue dalam proses mendekati lo, biar orang-orang ga deketin gue lagi," ujar Moka.

"Oh.. lo jadiin gue alat buat tameng lo dari para fans lo? Basi!" sahut Cafe.

"Dangkal banget. Gue emang udah naksir lo lama Cafe, makanya gua ga pernah respon cewek mana pun. Dan kesempatan gue deketin lo baru ke buka kemarin,"

"Kenapa baru kemarin? Dasar cupu!"

"Selama ini lo itu dideketin banyak cowok yang lebih dari gue, Cafe.. Gimana gue gak minder coba? Mikir pake hati gausah otak mulu digunain. Nilai MTK pake otak aja 9. Nilai keadaan pake hati perlu remed," cecar Moka lalu pergi meninggalkan Cafe yang mematung mendengar perkataan Moka barusan.

Cafe berlari menyusul Moka. Ia menahan tangan Moka dan mereka berhenti tepat di pintu kelas.

"Ngomong di kursi gue aja," ajak Moka datar.

Cafe duduk di sebelah Moka sambil memainkan jemarinya, kebiasaan Cafe saat ia gugup maupun gelisah.

"Gue minta maaf, maaf banget," lirih Cafe.

"Gapapa, gue aja yang lebay," suara Moka mulai melembut dan tersenyum ke arah Cafe. Cafe merasa hangat mendapat senyum itu dari Moka. Ia membalas senyum Moka.

"Udah ga marah?" tanya Cafe nyengir kuda.

"Enggak,"

"Cepet amat,"

"Buat apasih marah lama-lama ama cewek yang disayang? Mana ceweknya udah minta maaf. Jarang-jarang cewek minta maaf ama cowok, kan cewek selalu bener,"

"Huh, dasar!" cibir Cafe.

Moka mengacak rambut Cafe gemas.

Hampir semua anak yang berada di kelas mencuri pandang pada kedekatan Cafe dan Moka. Selama ini yang mereka tahu, Cafe dekat dengan ketua osis--Rayhan bukan dengan Moka. Moka pun tak pernah memberi sinyal bahwa ia menyukai Cafe, walau tak bisa dipungkiri semua kaum adam yang normal pasti menyukai cewek seperti Cafe.

"Cafe?" Rayhan sudah berdiri di ambang pintu sambil melihat tangan Moka yang ada di puncak kepala Cafe.

Masala(ku)luTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang