Entah apa yang membuatku tak fokus menatap guru sejarah yang tengah mengajar di depan. Pikiranku melayang. Kata Ayah langsung memenuhi kepala. Seingatku Ayah masih baik-baik saja tadi. Tak ada yang salah. Beliau masih sehat-sehat saja. Yah, kecuali rona pucat di wajahnya sejak beberapa hari yang lalu.
Ayahku gemar bekerja, pagi-siang-malam, ia habiskan untuk bekerja. Namun, beliau bukan orang yang melalaikan tugasnya sebagai seorang Ayah. Beliau masih mempunyai waktu untukku. Bercanda, tertawa bersama sudah menjadi kebiasaan kami sehari-hari.
Aku sempat merasa aneh, saat beliau berkata kemarin. Seolah akan terjadi sesuatu yang buruk. Rasa aneh itu tak hinggap lama, aku segera melupakannya ketika melihat Ayah tertawa karena candaan ibu. Ibu dan Ayahku memang orang yang humoris. Aku senang berada di tengah-tengah mereka.
Hidup kita sederhana, tidak begitu kekurangan juga tidak begitu kelebihan. Sederhana saja. Kami tak pernah menuntut banyak. Apalagi aku, seorang gadis yang sangat disiplin dalam hal keuangan. Ayah yang mengajarkanku hidup hemat. Membeli sesuatu dengan uang tabungan sendiri, hingga tak perlu membebani Ayah dan Ibu ketika aku butuh sesuatu.
Ah, aku jadi rindu Ayah. Ingin rasanya cepat pulang, makan malam bersama dan bercanda bersama. Apalagi ketika Ayah telah membuka bajunya, meninggalkan kaus singlet di tubuhnya. Wanginya itu, sangat kusuka. Juga ketika Ayah berkeringat, aku menyukainya karena ia terlihat lebih tampan. Keringat hasil kerja kerasnya untuk menghidupi kami takkan pernah kulupa bagaimana baunya.
Seseorang menepuk bahuku. Aku menoleh, ah rupanya sahabatku. Ia bertanya mengapa aku merenung, kujawab sedang rindu ayah. Ia tertawa.
*
Jam pulang hampir saja tiba. Lima menit lagi, aku pulang. Tak sabar rasanya melahap semua masakan Ibu.Akhirnya pulang. Aku bergegas keluar kelas, menghampiri kakak yang pasti sudah menunggu di depan sekolah.
Aku berlari kecil, menyenandung lagu apa saja. Aku tersenyum, lalu melambaikan tangan ke arah kakakku yang sedang berdiri dengan motor maticnya. Aku berjalan perlahan. Sampai di sana, aku menyapanya. Saat hendak mengambil helm, kakakku memelukku, sangat erat.
"Kak, kenapa?" Beberapa menit berlalu, tetap saja pelukannya tidak terlepas. Pertanyaanku seolah angin lalu saja. Bahuku sepertinya basah. Aku menyangka kakakku ini menangis. Tapi, masa iya cowok menangis? Di depan umum pula.
"Nanti, kakak kasih tahu. Kita pulang dulu ya." Ucapannya lembut sekali. Ia melepas pelukannya mengusap air matanya sendiri, lalu tertawa. Aku memandangnya bingung.
"Ah, maaf ya. Kakak nangis."
"Enggak malu kak? Diliatin anak-anak sini lho. Hihi." Aku menusuk perutnya dengan telunjuk. Itu merupakan kebiasaan kita.
"Ya enggaklah. Orang enggak kenal juga, ngapain malu. Ya udah pulang yuk."
"Kakak jelek kalau nangis tau." Aku tertawa, lalu naik ke atas motornya. Kita berdua pulang.
*
"Kak kok enggak ada orang? Ayah mana? Ibu?" Aku bertanya, namun kakakku ini masih belum menjawabnya. Dia hanya memelukku.Firasatku tak enak. Apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa aku merasa Ayah jauh sekali?
"Kak, jawab!"
"A-Ayah ada di rumah sakit."
"Hah! Ayah kenapa? Ayah enggak lagi sakit kan?"
"Kita berdoa saja, semoga semuanya baik-baik saja."
Dalam hati, aku mengaamiini ucapan kakak.
*
Malam menjelang. Belum ada kabar dari Ibu. Aku, kakakku dan adikku hanya diam, memandangi televisi. Tak ada yang bersuara.