Part 1

77 18 19
                                    


PERMULAAN

~Untuk menjadi seseorang yang membangakan itu sulit. Apalagi untuk orang yang setiap alur kehidupannya dicela~

"Bang..."

"Iya kenapa dek?"

"Enapa cih atu dipukilin teluss?"

"Abang juga gak tahu dek. Sabar ya, abang akan berusaha lakukin apa aja untuk adekku tercinta" kata abang sambil memeluk aku.

Suasana hening seketika dan abang mulai berbicara.

"Apa gak sakit dek? Kok kamu masih bisa senyum?" kata abang dengan penuh perhatian.

"Atu gak tau bang. Alau atu cedih, nanti abang ke piiran atu telus" Goda aku yang masih gak tahu apa-apa.

"Kamu nihh... habis dipukul masih bisa ketawa" kata abang sambil tersenyum penuh arti.

"Heheehee"

"Yaudah, sini abang obatin dulu"

"Iyah bang"

"Udah nihh... sono 'bocan' bobo cantikk"

"Abang..." kataku perlahan.

"Iya?" abang menjawab dengan ramah.

"Maacih yah bang" kata aku sambil membentuk love dari tangan.

"Iya dedekk, udah bobo yah. Have a nice dream, my sister"

"Iyahh, abang tuga" tanpa terasa, senyum di bibirku mulai mengembang.

~*~*~


Kenangan kecil itu terngiang begitu saja.

Kenangan waktu aku berumur 5 tahun. Memberiku sedikit energi untuk melanjutkan hidup.

Seandainya tidak ada abang, pastilah aku mengakhiri hidup.

Disinilah aku. Di bawah atap kamarku, duduk bersila di kasur sambil merenung.

Aku mengobati luka baru yang melekati tubuhku. Kali ini tidak ada abang di rumah, tidak ada yang menghiburku, memelukku, dan menyemangatiku.

"Yasudah lahh..." gumamku

Tiba-tiba ada suara ketukan dari luar kamarku

Tok! Tok! Tok!

Terlihat pintu kamarku mulai terbuka. Kulihat abangku bersender di pintu. Aku memang tidak suka mengunci pintu kamarku, karena abang sering masuk untuk melihat keadaanku.

"Apa kau dipukul lagi?"

"Abang!"

Aku berlari memeluk abang. Sejenak, aku melupakan rasa sakit akibat luka di tubuhku.

Abang mengelus rambut panjang hazel-ku dengan lembut. Rambutku selalu ku ikat kuda dan yang paling penting, kaca mata. Dia memelukku dengan erat dan... hangat.

Setelah merasa cukup tenang, dia melepaskan pelukkannya.

"Abang jangan di lepas" rengekku

Abang terkekeh dan memelukku kembali.

"Sini abang bantu"

Abang pun membantuku mengobati lukaku.

"Makasih banyak ya, Abang. Kalau abang gak ada, aku gak tahu harus apa"

"Huss! Jangan bilang begitu, abang beliin coklat ya? Mau?"

"Mauu"

Aku berteriak senang dan langsung bergelayut di lengan kokoh milik abangku. Aku memang penyuka coklat, semua yang berbau coklat pasti akan ku makan, walaupun abang yang membelikannya.

Tanpa berlama-lama, kami langsung keluar dari kamar. Tanpa disengaja, kami bertemu dengan papa yang sedang asik meminum teh tawarnya. Aku heran, biasanya, papa pulang larut malam. Walaupun papa yang punya perusahaan, tapi tetap saja ia lebih sayang dengan tumpukan kertas yang menggunung. Saat melihat kami --lebih tepatnya aku, ia langsung terpancing emosi.

"Mau kemana kamu?!" hardik papa. Papa sangat membenci aku. Aku tidak tahu mengapa, tapi memang begitu kenyataannya.

Aku hina di mata papa.

Tubuhku bergetar dengan hebatnya. Abang sedari tadi kucengram lengannya, walaupun tidak sakit, aku merasa abang men

"Mau keluar bentar pa" abang yang sedari tadi kucengram lengannya merasakan tubuhku bergetar kencang. Abang pun langsung pergi tanpa menghiraukan ocehan papa. Ia langsung menuju mobil sportynya.

"Silahkan masuk, Inces" abang membukakan pintu layaknya seorang pelayan.

"Ihhh abang, malu tau"

"Yaudah, mau masuk gak?" abang terkekeh melihat sikapku yang gugup.

"Hehehe. Iya bang"

                              ~*~*~

Kami pun sampai di sebuah tempat penjualan coklat. Chocolate's Waffle. Aku heran, biasanya kami menuju ke Supermarket terdekat.

"Bang, kok gak beli di--"

"Sttt.. udah ikut aja" abang menarik tanganku dengan lembut.

Saat aku memasuki bangunan besar ini, betapa terkejutnya aku, kulihat banyak sekali meja-meja berhias lilin diatasnya, rak-rak besar yang menjulang tinggi, dan yang paling penting, ada tempat membuat coklat. Toko ini--lebih tepatnya gedung ini, membuatku betah untuk berlama-lama disini.

"Monggo mase, pengin tuku coklat sing kanggo pacare?" kata wanita paruh baya itu. [Silahkan mas, mau mau beli coklat yang mana buat pacarnya?]

"HAHAAHAAA!"

Abang tertawa sekencangnya. Beberapa orang yang lihir mudik melihat sejenak ke arah kami. Walaupun kami bukan orang jawa asli, tapi kami mengerti sedikit bahasa jawa.

"Opo toh, ngguyu banter iki lho"

"Aduh bu, kita tuh bukan pac-"

"Sttttth" abang memotong pembicaraanku dengan jari telunjuknya.

"Gak usah di bilang" bisik abang yang terdengar jelas di telingaku.

"Ihhh, abang. Terserah lah" aku memutar bola mata kesal, sedangkan abang masih tertawa.

"Bu, kita beli yang ini, ini, ini, sama yang ini yaa. Ohh, yang ini satu lagi. Abang udah kek, malu tau diliatin" aku menggoyang-goyangkan tangan abang yang asik tertawa.

Abang tak menghiraukan ucapanku, ia asik tertawa sampai Handphone-nya berbunyi.

"Hallo? Dengan siapa ini?" Abang terlihat bingung karena tidak ada nama orang yang menelepon di Handphone-nya.

"Ini dengan..."

----------------------

*Lohhaaaa!

Ketemu lagi!

Kalau ngak sih gpp juga.
Kalau suka sih gpp juga.
Kalau mo ngoment sih gpp juga.
Kalau mo ngelikez sih gpp juga.

Plak!

Apaan sih lu! Gak jelas!

'Maap-maap sakit tauk'

'Huh! Dasar anak kambing'

'Anak kambing? Apa lu bilang?!'

'Anak monyet'

'Njirr'

A PROVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang