Part 7

5.1K 269 14
                                    

Langkah kakinya lantang, terdengar ke seluruh penjuru koridor. Orang-orang yang tadi berceloteh telah membungkam mulutnya sejenak. Memperhatikan dua siswi yang saat ini mendongakkan dagunya---berjalan angkuh melewati siswa-siswi lain.

Seorang siswa di depan pintu kelas 10 IPA 1 memegang erat buku cetak biologinya, memandang takut Hellen dan Chelsea, bersembunyi di balik badan temannya. Tentu saja, keduanya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan seperti ini untuk membuat 'permainan' baru dengan pemain baru.

Chelsea berjalan mendekatinya. "Heh, ngapain lo ngumpet-ngumpet gitu? Emang lo kira kita apa?" Temannya tadi memberi jalan bagi Chelsea. Siswa-siswi lain juga turut berhilangan, memilih pergi daripada menerjunkan diri menjadi bahan perpeloncoan.

Anak itu menggeleng. Menggigit bibir bawahnya. Mempererat pegangannya pada buku.

Hellen ikut mendekati. Menarik dagu siswi bernama Jihan itu. Menemukan cairan merah jambu menghiasi bibirnya. "Masih kelas sepuluh, udah berani pake liptint? Berasa senior lo ya!"

Jihan menghapus bibirnya kasar. Cairan bening membasahi pipinya. "Eng... gak, Kak."

Tiba-tiba, Hellen teringat akan sesuatu. Membisikkan Chelsea mengenai rencananya. Chelsea memutar bola mata, namun tetap menyetujui.

"Lo mau bebas?"

¤¤¤¤¤ ¤¤¤¤¤

Jari telunjuk dan jari tengahnya mengapit benda sepanjang telunjuk berwarna putih. Menyesapnya dalam-dalam dan menikmati sensasinya, rokok ketiganya setelah bolos dari kelas ke pojok kantin---tempat rahasia bagi siswa perokok.

Sudah lima belas menit, Hellen dan Chelsea bersembunyi di balik pohon beringin yang rindang, meninggalkan kelas sejarah yang gurunya amat membosankan.

"Kira-kira, dia bisa gak ya ngerjain apa yang gue perintah?" tanya Hellen.

Chelsea mengeluarkan batang rokoknya. Mengangkat bahu. "Bisa kali. Kan buku ekonominya juga udah lo kasih. Anak IPA sih, katanya pinter pinter, tapi gatau juga sama anak cupu tadi."

Hellen mengangguk. "Setidaknya, gak ada anak IPA di sini yang sepintar kita."

Chelsea tertawa, mengiyakan. Tidak ada yang lebih pintar dari mereka, buktinya, masih mau saja dibodoh-bodohi oleh Hellen maupun Chelsea, disuruh melakukan ini-itu, bahkan mengerjakan tugas yang sama sekali beda jurusan.

Chelsea menghentikan tawanya. "Tapi, kira-kira dia bakal ngadu gak ya?"

"Ngadu? Awas aja kalo berani. Gue hantui terus dia sampe tamat. Kalo perlu, tiap hari gue siram dia pake jus telor andalan kita. Hahahaha," tawa Hellen membahana. Chelsea tersenyum licik. "Cewek gila."

"Yah, terserah deh ya. Asal jangan ketahuan terus lo disuruh ngerjain tugas lebih banyak lagi." Chelsea berdiri. Merapikan roknya yang miring. Meninggalkan Hellen yang masih tertawa remeh.

¤¤¤¤¤ ¤¤¤¤¤

Bu Emi berkacak pinggang. Matanya melotot tajam ke arah Hellen. "Apa maksud kamu nyuruh adik kelas ngerjain makalahmu? Anak IPA pula!"

Hellen menyumpal kedua telinganya dengan tangan, nyeri tak tertahan setiap mendengar repetan Bu Emi yang cetar. Di sampingnya, Jihan menunduk ketakukan.

Awas aja ya, gue pites-pites lo pas pulang.

"Dia yang mau kok Bu! Dia nawarin saya, buktinya dia lihatin saya sampe segitunya, yaudah deh."

Bu Emi menjambak rambutnya sendiri. Bernapas kasar. Memasang raut kesal sekaligus marah, membuat Hellen harus menahan tawa.

"Alasan gak logis. Mana mungkin dia nawarin, sementara dia masih kelas sepuluh, jelas-jelas juga beda jurusan."

Hellen tersenyum. "Nah itu dia, Bu. Karna Jihan pinter, makanya dia bisa ngerjain tugas saya. Iya kan?" Hellen melirik tajam ke arah Jihan. Menepuk-nepuk bahunya ramah, sedikit mencengkeram bahu Jihan setelahnya.

Kaki Jihan gemetaran. Lidahnya kelu, tidak tahu harus menjawab apa, takut salah.

"Kamu punya otak gak sih?" Bu Emi mengawur---otaknya sudah sulit bekerja.

"Astaga ibu! Ngomong gak disaring dulu. Ya punya lah! Tapi tinggal di rumah," jawab Hellen santai.

Bu Emi menggeleng. "Sana, kamu susul Calvien di perpus dan minta bantuan sama dia."

Hellen memutar bola mata. "Iya deh. Saya capek lawanin ibu terus, gak selesai-selesai. Yaudah saya pergi dulu ya, Bu. Jangan rindu! Muah!"

¤¤¤¤¤ ¤¤¤¤¤

Alasan seseorang membenci orang lain biasanya ada dua, dan keduanya bermula dari cinta. Pertama, ketika seseorang yang dibenci terlalu baik pada kita. Memberikan apa pun yang kita minta. Tapi, tanpa disengaja, tanpa ia sadari, ia telah menorehkan luka di hati kita, mengecewakan kita.

Kedua, ketika kita mencintai seseorang dengan sangat. Maka, ketika kita tahu kita tidak akan menggapainya, ketika kita tahu perasaan ini tidak terbalas, benci itu datang. Kita benci, karena terlalu mencintainya.

Matanya menelisik bilik-bilik perpustakaan. Hellen benci bau buku-buku usang. Hellen benci suara lipatan kertas di perpustakaan. Hellen benci Pak Ijek, penjaga perpustakaan yang galak. Tapi, pada seseorang yang sedang mengetik sesuatu di laptop dengan dua tumpuk buku di sampingnya, Hellen tidak tahu, apa ia bisa membencinya atau tidak.

Hellen menetralisir rasa canggung yang tiba-tiba menguasai dirinya. "Bu Emi nyuruh gue temuin lo. Lo tau? Selama tujuh belas tahun di hidup gue, gak pernah gue bikin makalah."

Jo tidak menanggapinya. Tangannya lihai mengetik kata-kata yang tidak Hellen mengerti.

Hellen melanjutkan perkataannya. "Beruntungnya gue, selalu ada orang-orang bodoh yang mau disuruh bikin itu makalah.

"Tapi, hari ini gue apes! Gue ketahuan sama Bu Emi dan akhirnya, gue disuruh temuin lo buat minta tolong. Lo mau kan?"

Jo masih tidak menanggapinya.

"JO! GUE LAGI NGOMONG!" teriaknya, memecah keheningan di perpustakaan. Beberapa siswa yang sedang membaca maupun mengerjakan tugas menoleh ke arahnya. Hellen mengangkat bahu---tidak peduli.

Pak Ijek datang dengan penggaris kayu panjang. "Heh! Kalo mau bising, keluar aja! Gak baca di sana, ada tulisan dilarang ribut, ha?!"

Jo menghela napas panjang. Menarik pergelangan tangan Hellen. "Biar saya yang selesaikan, Pak. Permisi." Pak Ijek mengangguk.

Hellen meronta saat mereka sudah sampai di luar. "Lepasin!"

Jo melepaskan pegangannya.

"Gila ya lo!" kata Hellen.

"Lo yang gila! Apaan teriak-teriak di perpus?"

Hellen berdecih. Mendorong bahu Jo dengan telunjuk. "Hei! Lo yang mulai keles. Siapa suruh ngacangin gue? Lo pikir, seorang Hellen Geovani terlahir buat disia-siakan? Gue ngomong sama lo, bukannya dijawab!"

"Lo ngomong apa?"

Hellen mengingatkan dirinya untuk tidak bermain kasar dengan Jo, mengingatkan tangannya untuk tidak menjambak rambut Jo sekarang juga.

"Gue. Bilang. Bu. Emi. Suruh. Gue. Temui. Lo," ucapnya penuh penekanan.

"Oh, yaudah."

"Yaudah apa?"

"Biar gue yang ngerjain tugas lo."

Mata Hellen terbelalak sepersekian detik. Ia berjinjit mendekati Jo.

Cup.

Hellen memberikan kecupan di pipi kanan Jo. Berlari kecil setelahnya. Meloncat kegirangan sambil berkata, "Makasih Jo!"

"HELLEN!"

That Devil Is My Angel #ODOC_TheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang