"Kata seandainya hanyalah angan semu."
***
Sepulang dari rumah sakit tempat Carissa dirawat, Vallen memutuskan untuk pergi ke sebuah bukit. Tempat itulah yang menjadi saksi bisu tentang betapa pilunya hati Vallen saat Samuel mengakhiri jalinan kisah cinta mereka.
Mata sayunya kembali berair. Secuil kisah bahagia hingga pilu berlari-lari dalam otaknya.
Dulu, kala Vallen menyaksikan pertengkaran kedua orang tuanya, Samuel selalu menghiburnya di bukit ini. Samuel membuat tangis serta ketakutan Vallen perlahan memudar.
Dekapan hangat Samuel hingga kini masih menjadi hal yang teramat Vallen rindukan. Entah kapan ia akan segera mendapatkan lagi dekapan sehangat dan senyaman itu. Vallen hanya bisa menunggu, membiarkan waktu yang menjawab segalanya.
"Vallen!" Seruan itu membuat Vallen mengusap kasar pipi basahnya.
Netranya segera mencari asal suara yang telah mengusik renungannya. Kala dua pasang mata itu beradu Vallen merasakan sedikit ketenangan dalam hatinya. Entah apa sebabnya, ia tak tau pasti.
"Sejak kapan lo jadi penguntit gue?" omelnya pada lelaki yang terus saja mengikutinya.
"Sejak... gue suka sama lo," balasnya dengan senyum khas yang entah mengapa terasa sedikit manis dimata Vallen.
"Gue nggak suka sama lo, Ga! Jadi stop lo buang waktu buat ngikutin gue."
"Akhirnya lo nyebut nama gue. Seneng gue dengernya." Lagi Arga tersenyum ke arah Vallen.
"Gue udah bilang sama lo kan. Gue nggak lagi butuh mainan sekarang."
"Gue emang nggak mau jadi mainan lo. Karna gue maunya jadi cowok yang bener-bener lo cintai."
Vallen terdiam. Detik berikutnya ia berjalan mendekati Arga.
"Arga! Sebenernya lo siapa? Sikap lo aneh ke gue," tanya Vallen dengan menatap lekat mata Arga.
"Sikap lo juga aneh ke gue," balas Arga santai.
"Kenapa lo bolos sekolah? Gue nyariin lo kemana-mana," lanjutnya mengubah topik pembicaraan.
"Please! Lo jangan deketin gue! Gue nggak akan pernah suka sama lo!"
"Lo nggak bisa larang gue, Len. Dan gue cuma butuh waktu buat bisa masuk ke hati lo."
Tak ada jawaban, Vallen sudah menyerah menghadapi sikap lelaki di hadapannya.***
Vallen menutup kasar pintu apartemennya. Ia begitu kesal akibat Arga terus saja membuntutinya hingga apartemen. Lelaki itu sudah seperti permen karet yang akan terus menempel pada Vallen.
Sejauh ini tidak ada lelaki yang menyukai Vallen hingga harus terus membuntutinya. Justru kebanyakan lelaki hanya mendekati Vallen untuk diajak bersenang-senang, pergi kelabbing dan melakukan hal-hal tidak benar.
Entah apa yang disukai Arga dari gadis senakal Vallen. Memang Vallen terkenal dengan kecantikan serta keindahan tubuhnya, namun gadis itu tak menemukan tatapan tertarik Arga pada fisiknya.
Lelah terus memikirkan Arga, Vallen segera mencari ponsel dan mendial nomor panggilan cepat.
"Dear! Kamu kemana aja? Kenapa bolos sekolah?" Segera Vallen menjauhkan ponselnya dari telinga. Suara Aldi benar-benar berisik.
"Buset! Di, nggak usah ngegas dong ngomonya," kesal Vallen.
"Maaf, dear! Aku khawatir sama kamu. Tiba-tiba bolos sekolah dan nggak ngehubungin aku."
"Iya, iya. Maaf! Anterin aku shopping dong, bosen banget di apartemen sendirian."
"Siap tuan putri, 15 menit lagi aku bakal sampai di apartemen kamu."
"Thanks, Di!"
Sambungan berakhir. Vallen memejamkan matanya sejenak.
"Sorry, Di! Sejauh ini gue belum punya rasa sama lo," gumamnya dalam hati.
Setelah 15 menit Vallen segera keluar apartemen. Vallen mencari keberadaan Aldi, namun lelaki itu belum nampak batang hidungnya.
Waktu terus berlalu, namun sudah hampir 20 menit Vallen menunggu, Aldi belum juga datang.
Dengan hati setengah kesal, Vallen segera menghubungi sang kekasih.
Panggilan pertama tak terjawab. Begitu pun panggilan kedua. Dada Vallen mulai berdetak lebih cepat. Tak biasanya Aldi telat apalagi tak menjawab teleponnya.
Apa yang terjadi?
Setelah kepanikan melanda hati Vallen, sebuah mobil berwarna merah berhenti di depannya. Betapa leganya Vallen kala kaca mobil terbuka dan menampilkan sosok yang sejak tadi ia khawatirkan.
"Aldi! Lo bikin gue takut. Udah telat, ditelpon juga nggak diangkat," kesal Vallen.
"Maaf, dear! Tadi mobil aku mogok. Nah ini aku pinjem mobil temen, trus kesininya buru-buru makanya nggak tau kalo kamu nelpon. Maaf ya!"
"Lain kali jangan kaya gitu lagi," omel Vallen dan segera memasuki mobil.
"Seneng liat kamu khawatir sama aku," ucap Aldi dengan senyum khas miliknya.
"Apaan sih! Udah ayo jalan!" titah Vallen masih dengan raut wajah kesal.
Melihat hal itu, dengan gemas Aldi mengacak-acak surai hitam Vallen hingga membuatnya berantakan.
"Aldiiii!" marah Vallen dengan mencubit kasar lengan Aldi.
"Kamu lucu kalo lagi marah. Bikin aku makin cinta," goda Aldi tak mendapat respon dari Vallen. Gadis itu justru terdiam dengan wajah serius.
"Seandainya aku tidak pernah bertemu Samuel dan menjatuhkan hati padanya. Seandainya aku lebih dulu mengenalmu. Mungkin semuanya tak akan seperti ini. Aku bisa benar-benar tulus mencintaimu, tanpa menyimpan nama orang lain dalam hatiku. Seandainya saja, Di." Hati Vallen bermonolog.***
TBC...
KAMU SEDANG MEMBACA
Terima Kasih, Luka! [Re-Write]
Teen FictionKamu tau perpisahan ini bukan inginku. Tapi mau bagaimana lagi, kamu tidak memberi ku pilihan lain selain menyerah. Bahkan kamu tidak mengusulkan apapun, atau berusaha mencari jalan lain demi bertahannya hubungan ini. Dan pada akhirnya, aku lebih m...