Chapter 24

2.2K 165 13
                                    

Dddrrrtt

HP Zahra bergetar, dengan malas Zahra meraih HP tersebut lalu mengangkatnya.

"Halo selamat siang. Apa bisa bicara dengan Bu Zahra?"

"Iya. Saya sendiri."

"Perkenalkan saya Budi, HRD dari perusahaan Sega konstruksi. Saya hanya ingin memberitahukan bahwa anda diterima di perusahaan kami," papar seseorang yang bernama Budi itu.

"Benarkah?" tanya Zahra dengan mata berbinar senang bukan main.

"Iya. Benar. Apa anda bisa datang besok untuk menandatangani kontrak kerja?"

"Iya. Tentu saja saya bisa. Dengan senang hati," ucap Zahra begitu bahagia.

Keesokan harinya, dengan senyuman lebar, Zahra datang ke kantor Sega konstruksi satu jam lebih awal. Ia sangat bahagia dapat diterima di perusahaan besar setelah berbulan-bulan menjadi seorang pengangguran.  Dia malu pada kedua orang tua, tetangga, dan teman-temannya. Ocehan mereka semua sudah lama berhasil membuat Zahra frutrasi. Panggilan kerja ini membuatnya seperti hujan di musim kemarau.

"Dengan Ibu Zahra?" seorang lelaki paruh baya memasuki ruangan HRD.

"Iya." Zahra mengangguk.

"Begini," lelaki itu duduk di depan Zahra sambil menyodorkan beberapa lembar kertas bermaterai. "Kebetulan di perusahaan kami sudah mendapat seseorang untuk menempati posisi arsitek."

"Lalu, kenapa anda memanggil saya kemari?" tanya Zahra. Ia tahu bahwa lelaki itu yang menelponnya tempo hari setelah melihat name tag di kemeja hitamnya.

"Kami memang sudah mendapatkan pegawai di bagian arsitektur. Tapi kami belum mendapatkan pegawai untuk posisi sekretaris. Apa... anda bersedia menempati posisi tersebut?"

"Tapi...  saya tidak melamar sebagai sekretaris," sanggah Zahra kebingungan.

"Sebenarnya, banyak sekali sarjana arsitektur yang memiliki kompetensi yang lebih tinggi daripada anda. Itulah sebabnya kami lebih merekrut mereka. Di sisi lain, kami juga membutuhkan posisi sekretaris. Namun kami tidak memiliki waktu untuk mengadakan perekrutan lagi," papar Pak Budi dengan alasan yang sedikit tidak rasional.

"Tapi keahlian saya di bidang arsitektur. Saya tidak memiliki kompetensi yang cukup dalam membuat pembukuan perusahaan."

"Jadi anda tidak bersedia? Kalau tidak, kami akan mencari-"

"Eh eh saya bersedia," potong Zahra sebelum Pak Budi merampungkan kalimatnya.

Zahra sudah tertekan dalam mencari pekerjaan. Dia sudah melamar di banyak tempat. Namun tidak ada yang mau menerimanya karena memang persaingan di dunia kerja sangat ketat. Oleh karena itu, tanpa berpikir panjang, Zahra menerima tawaran Pak Budi.

"Ini kontrak kerjanya. Silahkan dibaca dulu," ucap Pak Budi sambil menyodorkan kembali berkas-berkasnya.

Zahra pun membaca dengan cermat surat tanda tangan perjanjian kontrak yang disodorkan Pak Budi. Dalam surat tersebut, banyak sekali pasal-pasal yang memang wajar. Namun ada satu pasal yang menurut Zahra kurang sesuai dengan kehendak hatinya.

"Bagaimana?" tanya Pak Budi.

"Kontrak kerja 3 tahun?"

"Iya. Kontrak kerja selama 3 tahun. Apabila anda keluar sebelum kontrak habis, anda akan dikenakan denda 20 juta rupiah."

Zahra meneguk ludah. Ia berpikir dengan keras apakah ia dapat bekerja dalam perusahaan yang sama dengan Julian selama tiga tahun ke depan. Sungguh, ia tidak yakin.

"Em... apa anda bisa memberi saya waktu untuk berpikir?" tanya Zahra masih menimbang.

"Maaf, tidak bisa karena posisi sekretaris harus segera diisi. Kalau kami mengulur waktu, beberapa laporan perusahaan akan terbengkalai."

Zahra menarik napasnya dalam-dalam lalu mengembuskannya. "Baiklah kalau begitu. Bismillahirrahmaanirrahim," ucapnya lalu ia pun mengguratkan penanya di atas kertas bermaterai.

"Baiklah. Selamat bekerja dengan kami," ucap Pak Budi lalu ia berdiri. "Mari, saya akan menunjukkan tempat kerja anda."

Zahra mengangguk. Ia mengikuti Pak Budi menuju lift. Setelah pintu lift terbuka, Zahra melihat Pak Budi menekan angka 6, lantai teratas gedung yang ia tempati saat ini.

"Ini meja anda," kata Pak Budi sambil menunjuk meja kaca di samping sebuah pot berisi tanaman hias.

"Terima kasih," ucap Zahra terlihat kikuk. Ia masih belum terbiasa dengan suasana kerja.

"Baiklah. Kalau begitu, saya pergi dulu. Jika ada hal yang ingin anda tanyakan, anda bisa menghubungi saya."

"Terima kasih," ucap Zahra lagi.

Pak Budi pun meninggalkan Zahra sendirian, membuat Zahra meneguk ludah seperti bocah yang kehilangan orang tunya di mall. Zahra mencoba tenang. Ia duduk di kursinya lalu melihat-lihat beberapa berkas yang ada di mejanya. Kepalanya mendadak pusing. Ia belum terbiasa dengan pembuatan laporan perusahaan.

"Zahra?" sapa pria berjas hitam.

Zahra mengangkat kepalanya, matanya beralih dari berkas-berkas perusahaan yang ingin ia pelajari. "Kak Julian?" pria tinggi semampai itu membuat mata Zahra melebar.

"Kenapa kau ada di sini?"

"Aku... aku diterima sebagai sekretaris di sini."

"Sekretaris?" alis Julian terangkat. Ia tidak merasa menyuruh Pak Budi untuk membuat Zahra menjadi sekretarisnya.

Zahra mengangguk. Raut mukanya sangat jelas tergambar kebingungan. Sementara Julian langsung mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya lalu meminta Pak Budi untuk segera menemuinya.

"Kenapa? Ada apa ini? Bukankah aku menyuruhmu untuk menjadikan Zahra sebagai arsitek?" tanya Julian marah besar. Di luar ruangan, Zahra dibuat penasaran dengan apa yang dibicarakan Pak Budi dan Julian dalam ruangan kedap suara.

"Maaf, Pak. Banyak sarjana arsitektur yang melamar di perusahaan ini dan kebanyakan dari mereka memiliki kompetensi yang lebih tinggi dari pada gadis yang bernama Zahra itu. Selain kalah dalam segi pengalaman, Zahra juga kalah dalam segi IPK dan skor toefl."

"Tapi kenapa kau membuatnya jadi sekretarisku?" geram Julian. Memang benar ia ingin Zahra bekerja di perusahaannya. Namun ia tak mengira kalau Pak Budi akan menjadikan Zahra sebagai sekretarisnya.

"Karena dia memiliki kompetensi dalam bidang tulis menulis. Dia pernah menulis novel dan berhasil diterbitkan di penerbit mayor."

Julian memutar malas kedua bola matanya. "Apa kau tidak bisa membedakan antara novel dan laporan perusahaan?"

"Apa sebaiknya saya mengurungkan keputusan saya?"

"Nggak usah!" ujar Julian sambil mengacak rambutnya singkat. "Kau boleh pergi."

Julian tentu saja sangat senang mendapati Zahra dapat diterima di perusahaannya. Tapi ia tidak senang jika Zahra menjadi sekretarisnya. Ia takut kehilangan konsentrasi saat bekerja, mengingat Zahra adalah wanita yang selalu terselip dalam setiap doanya.

Wonderful Heart ZahraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang