#12 The Book

749 74 11
                                    

Received 09.20 AM

Rencanamu aku tolak, agen G. Apa pun yang terjadi, membius subyek itu bukanlah pilihan. Dia harus selalu menganggapmu berada di pihaknya. Itu akan membuatnya lebih mudah dikendalikan saat dia sampai di tempat tujuan.

Tak mau dipergoki Sig, Gwen segera menghapus pesan yang baru masuk ke ponselnya itu. Kemudian, ia melemparkan dirinya ke kursi. Pandangannya terhujam ke tubuh Sig yang terbaring di dipan.

Sig sedikit menggeliat, meregangkan tubuhnya, lantas merintih kesakitan. Dada kanannya didatangi nyeri yang begitu menggigit. Perlahan, ia bangkit dan duduk di pinggiran dipan dengan dibantu oleh Gwen.

"Hei," sapa Gwen, sama sekali tak tersenyum. Otaknya masih mencari solusi agar sang manusia serigala mau meninggalkan Negara ini secara sukarela. "Hati-hati, beberapa tulang rusukmu mungkin patah."

"Itu berita baik atau buruk?" Sig mengamati perban yang membalut dadanya.

"Tentu saja baik. Tubuh orang biasa pasti sudah remuk kalau mengalami siksaan sepertimu."

"Sudah berapa lama aku pingsan?"

"Hampir satu hari."

Menyadari sinar matahari telah masuk lewat ventilasi jendela, Sig mendesah pelan. Lagi-lagi dirinya tak bisa melihat rembulan di malam hari.

Menangkap aroma makanan yang begitu asing, Sig mulai mengendus-endus. Gwen bangkit dan meraih sebuah kotak kertas dari atas meja di sudut ruangan. Setelah duduk kembali, ia mengambil sepotong ayam goreng dari kotak tersebut.

"Sarapan. Baru saja datang," ucap Gwen.

Sambil mengamati cara Gwen makan, Sig meraih bagiannya. Begitu menggigit ayam yang masih hangat itu, ia tercenung. Bagian luar yang renyah, bagian dalam yang empuk dan lembut, serta rasa gurih yang cukup kuat, semua itu memberikan sensasi yang baru di lidahnya.

"Ini enak sekali," puji Sig, mulai makan dengan lebih lahap. Pandangannya lalu berkeliling mengamati ruangan kusam tempatnya berada sekarang.

"Tempat ini adalah salah satu lokasi persembunyian sementara yang disiapkan agensiku," tutur Gwen, seolah bisa membaca pikiran Sig.

"Oh," balas Sig, kini memperhatikan celana pendek yang membalut bagian bawah tubuhnya.

"Jangan membahas itu," gumam Gwen malas.

Cengiran lebar terbentuk di bibir Sig. Setelah kemarin berubah wujud, bajunya tentu sobek-sobek dan tak bisa dipakai. Ia juga tak bisa berbusana sendiri karena pingsan. Gwen pasti memakaikan celana ini ke tubuhnya yang telanjang bulat.

"Hei, aku suka bajumu," seloroh Sig, mengamati dada Gwen yang cukup terlihat dari balik tank top transparan.

"Ini juga jangan dibahas!" omel Gwen galak, segera menutupi dadanya yang tak terlindungi bra itu dengan tangan.

Kali ini pandangan Sig terpaku kepada hot pants yang dikenakan Gwen. "Apakah bawahanmu itu juga cuma satu lapis? Ah, sayang tidak transparan."

"Dasar mesum! Percuma aku mengkhawatirkan keadaanmu..." Gwen buru-buru membuang wajahnya yang mulai terasa panas.

Sig menahan tawa sampai sedikit tersedak. Ia senang Gwen menaruh perhatian kepadanya.

"Apa rencanamu selanjutnya? Apa kau masih berniat membawaku ke Amerika?" tanya Sig seraya mengambil potongan ayam keduanya.

Gwen menghela napas panjang, terdiam sejenak, baru menjawab, "Kita akan ke kastilmu terlebih dahulu. Selanjutnya kita pikirkan nanti."

Mendengar jawaban tak terduga itu, Sig sampai menghentikan aktivitas makannya.

"Yah, tapi kita harus ambil jalan memutar untuk mengecoh mereka." Gwen tersenyum samar. "Anggap saja ini balas budiku karena kau telah menyelamatkanku."

"Balas budi, ya?" desah Sig lalu termenung untuk beberapa detik. "Justru kau yang menolongku terlebih dahulu."

Tak mendapat jawaban dari Gwen yang kembali makan, Sig berkata lagi, "Jujur saja, kemarin aku tak sanggup melawan Shia, saudaraku itu. Jadi, aku memilih kabur..."

Begitu Sig tercekat, Gwen langsung memandangi wajah pria itu dengan serius.

"Kau tahu? Aku ini sering berburu bersama saudaraku itu. Kami selalu bertengkar mengenai tingkat kematangan daging buruan. Aku lebih suka matang sepenuhnya, sedangkan dia lebih suka yang masih agak mentah. Meski begitu, kami ini hampir tak terpisahkan," kenang Sig.

"Lalu, apa yang membuatmu bisa melawannya?" tanya Gwen hati-hati.

"Kau," jawab Sig, memandang lembut mata Gwen.

Gwen kembali memalingkan muka. Lagi-lagi wajahnya merasakan panas yang tak jelas sumbernya. "Aku tak mengerti."

"Di lab, kita memang jarang mengobrol, tapi aku selalu memperhatikan dirimu, Gwen. Aku tak tahu apa yang membuatku seperti itu. Yang jelas, melihatmu sekilas saja... Hanya karena melihatmu sekilas saja, aku jadi bisa melalui hari berat di lab. Karena itu, saat melihatmu terancam, aku langsung terdorong untuk melindungimu."

"Aku tak butuh perlindunganmu," balas Gwen datar, buru-buru bertolak dari tempatnya.

Sig hanya memandangi punggung Gwen yang menjauh. Ia bisa mendeteksi nada sendu dalam kalimat gadis itu barusan.

***

Di dalam bekas kamar milik subyek 16, Arthur mengernyitkan dahi. Tangannya menggenggam sebuah buku dengan sampul bergambar bulan purnama. Seingatnya, ia tak pernah memberikan buku seperti itu kepada si subyek.

"Profesor Bennet?" panggil Mia yang baru datang. Ia sudah mencari-cari Arthur sedari tadi.

Tak segera menjawab, Arthur justru membuka-buka halaman buku itu. Mia yang merasa salah tingkah karena tak ditanggapi cuma bisa mematung.

"Mia, kau kemarin mengamati perilaku Subyek 16, kan? Apa kau melihat keanehan?" tanya Arthur, tak menatap Mia sama sekali.

Mia berusaha mengingat-ngingat. "Dia melindungi wanita itu, dia tak langsung balas menyerang saat subyek 14..."

"Apa kau mendengar subyek 16 memanggil subyek 14 dengan sebutan apa?" potong Arthur, matanya melotot saat melihat salah satu halaman buku.

Mia mengangkat bahu. "Tidak, waktu itu mereka terlalu jauh."

"Yah, mereka memang saudara," racau Arthur seraya menutup buku itu.

"Maaf, maksud Anda apa, Profesor?" tanya Mia lagi, semakin bingung dengan tingkah-laku Arthur.

"Semua ini gara-gara si bejat Viktor!"

Moon Goddess' Chosen One [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang