Bertemu Reza

35 2 0
                                    


Lalu lalang mahasiswa yang akan pulang seakan tak ada jedanya sore itu. Hari kian tenggelam, malam tak sabar menyambut gelap. Cahaya jingga begitu cantik menyinari kampus merah, terutama sekitar gedung rektorat.

Di bawah pohon yang tak jauh dari gedung itu, ada Ali yang sedang berdiri, terlihat gelisah. Dia sedang menunggu seseorang.

Sudah hampir dua puluh menit dia berdiri di sana tapi orang yang ditunggunya belum kunjung kelihatan batang hidungnya. Bukan apa-apa dia terlihat gelisah, dia ada agenda lain dan sudah molor sepuluh menit. Dia juga tidak bisa meninggalkan temannya yang sedang ke gedung rektorat mengurus berkas PMW mereka.

Beberapa kali dia mengecek jam di tangannya, berusaha tenang meskipun perasaan tidak enak mulai mendatanginya. Kasihan Reza yang sedang menunggunya di masjid al-Aqso. Meskipun dia sudah menelpon dan meminta maaf karena dia tidak bisa datang tepat waktu, tetap saja dia merasa tidak enak hati.

Seorang perempuan berkerudung lebar berdiri tidak jauh dari tempatnya berdiri. Dia mengenal perempuan itu karena perempuan itu adalah teman angkatannya di fakultasnya. Lama memperhatikan perempuan itu tapi sepertinya dia tidak melihat Ali.

"Fatimah...." panggilnya.

Ternyata perempuan itu adalah Fatimah. Dia menoleh dan melihat ke arah suara yang memanggilnya. Dia terlihat cukup kaget melihat Ali. Tapi setelah itu tersenyum menunjukkan wajah ramah.

"Assalamulaikum, Li." Katanya sambil melangkah ke arah Ali.

"Waalaikumsalam warahmatullah."

"Ngapain di sini?"

"Menunggu Haris. Dia lagi ke rektorat."

"Oh, gitu."

"Kamu? Nunggu seseorang juga?"

"Iya! Nunggu Fika."

"Kalian satu pondokan?"

"Nggak! Kalau Fika nggak ngekos. Dia pulang balik, Maros-Makassar."

"Setiap hari?" tanyanya tidak percaya.

"Iya. Dia mah wonder woman, Li."

Ali tersenyum mendengar Fatimah mengatakan itu tentang Fika. Dia hanya sekadar mengenal Fatimah, Fika dan teman-temannya yang lain yang dijuluki ukhti-ukhti oleh teman angkatan mereka itu. Tidak begitu akrab. Apalagi mereka tidak sekelas. Saling mengenal dan tepatnya terpaksa saling kenal karena mereka satu angkatan, sama-sama pernah menjalani pengkaderan yang mau tidak mau harus mengenal semua teman angkatan. Tapi sejak itu, mereka semua benar-benar tidak hanya saling mengenal, tapi berteman.

"Oh, iya. Selamat ya, Li. Aku dengar dari anak-anak, katanya proposal PMW-mu lolos. Jadi ini nih yang bikin kamu sama Haris ada kepentingan di gedung rektorat?"

Ali tersenyum senang.

"Alhamdulillah. Iya, Mah. Trimakasih, ya!"

"Sama-sama."

Tidak lama kemudian, Haris datang. Peluh membasahi wajahnya. Dia terlihat begitu kerepotan memegangi beberapa map yang ada di tangannya. Dia sempat menyapa Fatimah, kemudian pamit karena harus buru-buru ke suatu tempat. Pergi duluan, meninggalkan Ali yang sejak tadi menunggunya.

Setelah menerima map yang diberikan Haris tadi, Ali juga meminta diri.

"Kamu nggak apa-apa kan sendirian di sini?" tanyanya sebelum pergi.

"Insya ALLAH."

"Sudah makin gelap sih. Tiga puluh menit lagi adzan magrib. Fika masih lama menjemputmu?"

Ali kasihan meninggalkan Fatimah sendirian. Tempat mereka berdiri adalah tepat di tepi jalan, dia khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Banyak tindak kejahatan yang sudah terjadi di kampusnya. Dia tidak tega meninggalkan seorang perempuan yang dikenalnya seorang diri di tepi jalan. Dia merasa tidak akan tenang sebelum memastikannya baik-baik saja sampai bertemu dengan Fika.

Ya Akhi Ya UkhtiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang