Lima Belas

1.8K 153 3
                                    

Andin terduduk di cafe memandangi layar ponselnya yang menampakan pesan terakhir dari Daffa.

DaffaN
Din ada waktu nggak? Aku mau ngomong penting sama kamu.

Andin menghela nafasnya berat. Ia tau hari ini akan datang dan ia juga harus siap menerima semuanya. Mau bagaimana lagi, perasaan memang tidak akan pernah bisa dipaksakan.

Triiiing

Suara lonceng membuyarkan lamunan Andin. Seseorang yang ditunggunya muncul dari balik pintu kaca yang baru saja terbuka. Andin mencoba tersenyum seikhlas mungkin berusaha seolah tak terjadi apa-apa.

"Hai Daff," sapa Andin.

"Udah lama nunggunya?" tanya Daffa seraya menggeser kursinya dan terduduk.

Andin menggeleng tanpa menghilangkan senyumannya.

"Din?"

"Daf?"

Ucap mereka bersamaan. Entah mengapa situasi berubah canggung. Daffa terlihat kebingungan dan Andin? Ia tengah berusaha menahan sesak di dadanya.

"Kamu duluan Din," suruh Daffa.

Andin kembali menarik nafasnya dalam dan mencoba tersenyum "Daff, aku rasa di dunia ini nggak ada yang namanya happy ending. Mungkin cuman caranya aja yang beda ada yang sad ending karna satu kejadian atau  sad ending karna kematian."

Daffa terdiam, sepertinya Andin sudah tau maksudnya menemui Andin hari ini.

"Tapi itu tergantung kitanya sih. Kenapa nggak cara lain buat bikin happy ending dengan cara kita sendiri. Misalnya aku sama kamu, aku bakal buat semua happy ending. Kamu harus terus bahagia sama dia dan aku harus berusaha untuk nggak apa-apa,"  Andin menatap Daffa dengan senyuman seikhlas mungkin.

Rasa bersalah menghujani Daffa kini. Apa ia tega mengakhiri hubungannya dengan gadis sebaik Andin. Daffa menggenggam kedua tangan Andin erat.

"Din, maafin aku." Hanya kalimat itu yang bisa Daffa ucapkan.

Andin kembali melontarkan senyumannya. "Kenapa minta maaf? Kamu nggak salah kok, dan kita nggak perlu putus," jawab Andin.

Daffa mengernyitkan dahinya, apa maksud perkataan Andin barusan?

"Daripada kita putus, kenapa kita nggak pilih jalur saling melepaskan? Cukup adil kan?" jawab Andin santai.

Daffa merasa beruntung pernah berpacaran dengan perempuan seperti Andin. Seperti yang dikatakan orang-orang. Andin bisa di katakan manusia yang sempurna. Pintar, ramah, dan yang pasti dia baik. Dia cukup bisa membuktikan kebaikannya dengan apa yang ia lakukan barusan.

"Daf, aku nggak bisa lama-lama udah ada janji Papa. Maaf ya." Andin melepaskan genggaman tangan Daffa dan beranjak dari tempatnya.

Andin berusaha menahan tangisnya. Baru beberapa langkah, suara Daffa terdengar.

"Din."

Daffa menghampirinya dan memeluk Andin erat. Beberapa orang yang ada di kafe itu menatap mereka. Tangis Andin tumpah, ia tak sanggup menahannya lagi.

"Din, aku harap kamu dapat yang terbaik," Daffa tersenyum seraya menghapus air mata yang membasahi pipi Andin. Andin tak berbicara apapun dan pergi.

Jean membuka pintu kaca sebuah kafe. Seseorang muncul dari balik pintu tersebut. Orang itu adalah Andin. Sebuah senyuman muncul di wajah Jean. Ini kali pertama Jean tersenyum pada gadis dihadapannya itu.

Tak ada pembicaraan diantara mereka. Andinbmelanjutkan langkahnya keluar. Begitu pula Jean. Langkah Andin terhenti, matanya menatap langit yang tampak cerah. Kedua sudut bibirnya terangkat.

ThantophobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang