wolu

208 23 1
                                        

"Kamu pulang dulu deh mendingan Ngga," Sinta menatap cowok yang duduk di samping tempat tidurnya saat ini, terpancar jelas raut khawatir di wajahnya, "Aku gapapa sendiri, kamu ini kaya rumah aku jauh banget, padahal cuma lima langkah" Sarah tertawa pelan sambil mengusap pelan lengan cowok itu.

"Gimana aku bisa pulang kalau kamu sendiri begini, aku bisa mati karna khawatir" Angga menatap gadis dihadapannya yang sekarang sedang tertawa pelan. Ia langsung pulang dari rumah Rafin begitu mendapat panggilan dari Sinta. Sinta menelepon Angga dengan suara yang sangat lemah, mengatakan bahwa maagnya kambuh sampai ia tidak bisa bangkit dari tempat tidurnya, sedangkan orangtua gadis itu lagi bekerja dan asisten rumah tangganya yang lagi cuti karna anaknya sakit, sehingga hanya Angga lah yang bisa ia mintai tolong. Jangan ditanya betapa khawatirnya cowok itu.

"Kamu itu uda kayak oma aku yang pikun tau gak, sampe makan aja lupa, kamu kan uda tau kalo punya maag gini kenapa makannya masi suka telat"

"Aku emang beneran lupa Angga, tugas lagi menumpuk banget akhir-akhir ini"

"Yah jangan sampe lupa makan juga"

"Ih kamu, aku lagi lemes gini jangan diajakin berantem"

"Gaada yang ngajakin berantem, aku cuma ngingetin kamu"

"Aku janji gabakal gini lagi Angga, kamu gausah khawatir gitu"

"Aku khawatir gini karna aku sayang, kalo aku ga sayang mah bodo amat juga kalo kamu ga makan"

Sinta tertawa renyah melihat Angga yang sibuk ngedumel, Angga yang selalu sayang padanya, hanya Angga sahabat Sinta, karna cewek itu anak tunggal dan tidak terlalu mudah bergaul dengan banyak orang. Angga yang melihat Sinta tertawa kemudian tersenyum, ia selalu menyukai tawa Sinta, tawa yang selalu membuat hatinya menghangat. Dengan lembut ia mengusap kepala Sinta yang dibalas dengan senyuman gadis itu. Angga selalu berhasil membuat Sinta nyaman disampingnya.

"Yaudah aku pulang bentar ya, uda bau gini, nanti aku kesini lagi nganterin kamu makan malam, oke cantik?" Angga mengedipkan sebelah matanya menggoda Sinta, cewek itu hanya tertawa melihat Angga. Sinta memerhatikan punggung Angga yang sudah keluar dari kamarnya.
Ia mendesah pelan sambil memiringkan kepalanya menghadap jendela,

Kalo aja jatuh cinta itu bisa milih Nga, uda pasti kamu yang bakal aku pilih.

*****

"Arifff jangan rese bisa gak sih jadi orang?!" Azra mengomel kepada Arif yang sedari tadi usil banget ganggu Afnan yang lagi menggambar, sampe adiknya yang masih kelas 3 sd itu mau nangis, "Udah ya Anan gausa nangis, biarin aja, nanti kita beli eskrim dia gausah diajak, oke?"

"Gue gak ganggu kali, yah menurut lo aja coba gunung warnanya biru gitu?" Arif mendengus ke arah kakaknya, dilipatnya kakinya keatas sofa lalu kembali mengganti siaran televisi, kakaknya itu cerewetnya ga kebangetan, bikin Arif greget sendiri. Masa Afnan bikin warna gunungnya biru, Arif diem aja?

"Kalo diliat dari jauh warnanya kan biru bang" Afnan menatap abangnya yang duduk di sofa lalu menatap Azra yang berada di depannya, meminta dukungan.

"Yah ga salah Anan juga Arip yaampun, biarin ngapa sih" Azra menatap jengkel kearah adiknya yang paling tengil sedunia itu.

"Kakak bego lo" Ucapannya langsung mendapatkan lemparan bantal oleh Azra. Arif menatap sinis Azra, lalu kembali fokus ke siaran televisi didepannya.

"Assalamualaikum" Mereka bertiga berpandangan, lalu Afnan kembali melanjutkan menggambarnya, membiarkan kakak dan abangnya tatap-tatapan,

"Assalamualaikum"

Suaranya terdengar lagi, kali ini lebih keras.

"Buka gih" suruh Azra kepada adiknya itu, ia mager banget mau jalan ke pintu, Bude Diah lagi gaenak badan makanya dari tadi di kamar terus.

"Gak"

"Bukak ih"

"Assalamualaikum"

"Lo ya," Azra melempar bantal yang berada di sofa tepat ke arah Arif, membuat anak itu menatap tajam Azra.

"Iya walaikumsalam", Azra membuka pintu dan terkejut melihat cowok yang berada di hadapannya ini, " Rafin?"

Rafin tersenyum sambil menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal, "Nyokap lo ada?"

"Belum pulang, kenapa?" tanya Azra, "Eh masuk dulu"

"Ini ada titipan dari nyokap, gausah deh, gue mau cepet soalnya ada urusan lagi" Rafin memberikan paper bag berisi bronis itu kepada Azra, setelah pamit, Azra menutup pintu dan berjalan menuju dapur.

Untung saja, Rafin langsung ke toko kue untuk mengganti bronis titipan mamanya yang di habisin Angga tadi sore. Kalo gak, bisa-bisa kena seribu ayat dia dari mamanya.

"Siapa?" tanya Arif dengan masih menatap siaran kesukaannya.

"Rafin" jawabnya, Arif menoleh dan melihat kakaknya itu membawa paperbag, ia lalu mengernyit.

"Itu apaan?"

"Bom" Arif hanya mendengar suara Azra, karna kakaknya itu udah keburu ke dapur.

"Gendut lo!"

"Abang, Anan mau tidur" Afnan mengucek kedua matanya yang sudah berair, Arif hanya mendesah pelan lalu ia turun dari sofa krem itu dan berjongkok membelakangi Afnan, tangannya bergerak ke punggungnya menyuruh Afnan naik dalam gendongannya, ketika Afnan udah naik ke punggung Arif, cowok itu berdiri.

"Ayo captain, saatnya tidur"

Setelah selesai memindahkan bronis ke  dalam piring dan meletakkannya ke kulkas, Azra kembali menuju ruang keluarga dan menonton. Derap langkah kaki dari tangga memasuki indra pendengarannya, dan benar saja sekarang adiknya itu duduk disampingnya sambil memeluk bantal.

Keduanya diam menyaksikan televisi, Azra melihat ke arah jarum jam yang menunjukkan angka setengah sepuluh malam, tapi mamanya belum juga pulang. Azra dan adik-adiknya sudah terbiasa seperti ini, mama mereka terlalu sibuk bekerja. Semenjak kematian ayahnya empat tahun lalu, ibu Azra yang menjadi tulang punggung untuk menafkahi keluarga mereka.

"Afnan uda tidur?" tanya Azra pada adiknya, Arif yang bersandar pada sofa hanya menggumam pelan.

"Udah"

"Mama lama amat pulangnya"

"Kayak baru sekali aja"

"Iyasih"

Arif menolehkan kepalanya menghadap Azra, ia memerhatikan kakaknya itu dari atas sampe bawah, "Lo kok tambah gendut sih?"

"Apaansih?" tanya Azra malas.

"Ya elo lah, katanya mau dietla mau inilah mau itulah"

"Ya lo pikir kurus itu gampang apa?Semuanya butuh proses, lo mah enak cowok, asal ngomong doang"

"Heh gue ga pernah lihat cewek dari fisik ya"

"Basi banget elah," Azra menghadap adiknya, "Apa kabar Alina yang lo tolak karna dia juga gendut kayak gue?"

Arif terdiam. Lalu mencari argumen lain, "Ya itukan karna gue masi kecil dulu, belom tau apa-apa"

"Bacot lo banyakin Rip"

Bahkan adiknya pun sama, melihat suatu kecantikan berdasarkan fisik. Padahal menurutnya Alina cantik, baik lagi. Ia pernah bertemu dengan Alina dulu ketika cewek itu ada kerja kelompok di rumahnya, dan demi apapun Alina cantik udah gitu lembut lagi, Arifnya aja yang emang bego.

Karna terlanjur kesal dengan Arif, Azra melemparkan bantal sofa yang ada didekatnya ke arah Arif. Arif yang ga terima, langsung melemparkan kembali bantal itu, yang langsung dapet pelototan dari Azra.

Jadilah malam itu mereka lempar-lemparan bantal sampai capek sendiri.

••••
Vote, comment, and enjoy.

salam manis,
Zahra

Pacarku (Enggak) GendutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang