열하나

1.3K 330 49
                                    

"Kak Minhyun, Seonho, pulang yuk!" setelah 20 menit, akhirnya Hyungseob mengajak dua temannya itu undur diri.



"Kita juga balik, ya, Lin," Hyunbin dan temannya yang lain ikut pamit pada Guanlin, "jaga diri baik-baik, cepet sembuh."



"Iya, makasih, ya, semua. Sering-sering main ke sini, deh," Guanlin tersenyum.



"Ayo, Ho," Minhyun menatap Seonho, menunggu responnya.



"Kak Seonho pulangnya nanti aja~" Woochan merengek, pelukannya pada lengan Seonho tidak terlepas.



"Iya, Kak, aku pulangnya nanti aja. Kak Guanlin sama Woochan juga nggak ada yang nemenin, kan?"



"Ya udah ya, aku sama Kak Minhyun pulang duluan. Dadah Seonho, Guanlin, cepet sembuh ya!"



"Iya, makasih, Hyungseob, Kak Minhyun!"



Tidak lama setelah itu, ruang rawat Guanlin mendadak sepi. Hanya beberapa kali Woochan terkikik karena sedang becanda dengan Seonho.



"Kalian nggak mau makan?"



Seonho dan Woochan serentak menengok ke arah Guanlin yang mulai duduk dan menyandarkan badannya pada kepala ranjang. Seonho tersenyum, bahkan ketika seperti ini, Guanlin tidak pernah kehilangan karismanya.



"Woochan kenyang makan ayam yang dibawa Kak Woojin!"



"Kamu, Ho?"



"Eh?" mata Seonho membulat, kini sedang bertatapan langsung dengan sepasang mata yang lain, milik Guanlin, "aku lapar sedikit, tapi nggak apa-apa, kok, serius!"



"Nggak apa-apa gimana, sih? Kamu aja doyan makan begitu," Guanlin mengambil dan memberikan sepotong sandwich yang juga pemberian teman-temannya, "ini, buat ganjel."



"Nggak usah! Buat Kak Guanlin aja biar cepet sembuh!" Seonho berniat mengembalikan sandwich yang telah Guanlin berikan padanya. Namun, Woochan menahan.



"Makan saja, Kak. Kak Guanlin juga masih punya dua, tuh!"



"Woochan mau?" Seonho menawarkan.



"Nggak, ah, Woochan kan kenyang~" Woochan mengelus perutnya, "Kak Guanlin, Woochan mau ke taman dulu, ya! Bosan! Dah, Kak Seonho~"



"Jangan jauh-jauh, Woochan! Nanti hilang, kakak nggak mau cari!" Guanlin berteriak setelah Woochan berlari keluar.



"Ih, Kak Guanlin apa sih," Seonho tertawa, kemudian menggigit sandwichnya, manis.



"Becanda, Ho," Guanlin ikut tertawa, "oh, iya.."



Seonho menatap Guanlin, "Apa, Kak?"



"Maafin kakak, ya?"



"Maaf kenapa?" Seonho mengernyit, "Kak Guanlin nggak salah apa-apa."



"Maaf soal dulu, waktu aku kasar banget sama kamu," Guanlin memelankan nada bicaranya, "dan maaf, aku pernah berniat untuk permainkan kamu," imbuhnya dalam hati.



"Haha, sudah, deh. Aku sudah lupa, kok," Seonho tersenyum.



"Ah, syukurlah," Guanlin menatap lurus ke depan, "senang kamu di sini. Setelah Jihoon pergi, kayanya kamu yang nyemangatin aku lagi.."



Seonho memerah.



Iya, dia tahu Jihoon memutuskan hubungan mereka baru-baru ini. Tapi, Seonho tidak senang, kok. Tujuannya sekarang bukan untuk memerjuangkan Guanlin, ia hanya ingin ada di saat-saat Guanlin membutuhkan semangat, seperti saat ini. Jika Jihoon salah satu dari sumber semangat Guanlin, bagaimana bisa Seonho senang ketika Jihoon pergi?



"..aku berharap bisa sembuh dan banyak main games bareng kamu lagi."



"Kak Guanlin pasti sembuh, kok!" Seonho menyemangati, "aku janji bakal ngajak kakak main apapun yang kakak mau, asal kakak juga janji untuk jangan bandel, ikuti apa kata dokter, oke?"



"Deal!"

















-Cigarette-

"Hah, capeknya~" Hyungseob merebahkan dirinya di atas tempat tidur, merenggangkan otot-ototnya.

Baru saja matanya terpejam, ponsel yang ada di dalam saku berdering. Terdapat sebuah pesan baru.

WOOJIN, P

Turun.

16.13

Awalnya Hyungseob benar-benar tidak tahu siapa pengirimnya, nomor itu tidak tersimpan di ponselnya. Namun, nickname dan display picture pengirim itu meyakinkannya.

Turun apa?

16.14

Aku ada di bawah. Cepat.

16.14



Hyungseob bangkit dan berlari ke arah jendela kamarnya. Benar, Woojin berdiri di sana dengan motornya.



"Apa lagi masalah orang ini? Ck!"



Hyungseob dengan cepat menuju pintu rumahnya, kemudian keluar, dan membuka pintu gerbang untuk menemui Woojin.



Setelah pintu gerbang setengah terbuka dan Hyungseob telah keluar, Woojin menatapnya intens.



"Ada apa sih, J--eumph!"



Woojin mencium lembut bibir Hyungseob, saat lelaki putih itu bahkan tidak tahu untuk apa Woojin datang.



Hyungseob tidak menerima begitu saja, jelas. Nampak sekali ia berontak, terlebih ini bukan pertama kalinya Woojin bersikap tidak sopan padanya. Namun, berontak pun akhirnya tidak membuahkan hasil, Woojin tetaplah lebih kuat dari dirinya.



"Jin, kamu apaan, sih?" akhirnya Hyungseob dapat meluapkan emosinya setelah Woojin melepas ciumannya.



"Maaf," Woojin tidak melepaskan pandangannya dari wajah Hyungseob, "ayo jadi pacarku."



"Hah?" Hyungseob melotot, "kamu ini aneh banget, sih!"



"Aku sayang kamu, Seob."



"Makan, tuh, sayang! Udah nggak mempan kata-katamu, nanti juga cuma aku yang kena bully!"



Woojin tersenyum, kedua tangannya menggenggam tangan mungil Hyungseob.



"Aku bahkan sayang kamu sejak kamu belum nyatain perasaan kamu dulu."



"Basi," Hyungseob melepas genggaman tangan Woojin, "kalau sayang kenapa nyakitin aku waktu itu?"



"Aku udah pacaran sama Jihoon, aku nggak mungkin ngelihatin kalau aku punya perasaan lebih ke kamu, terlebih ada Guanlin dan Kak Hyunbin di sana."



"Tapi bisa kan jaga perasaanku juga?" Hyungseob melembut.



"Aku kalut, Seob. Perasaanku campur aduk."



"Lagi pula," Hyungseob memenggal kalimatnya, menarik nafas, "kalau sayang aku lebih dulu, kenapa malah pilih Jihoon?"

Cigarette +guanhoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang