5- Kejanggalan

197 50 31
                                    

"K-kamu... siapa?" Tanya Deefnie, pada seseorang yang datang dengan tiba-tiba itu.

Seorang cowok, berperawakan tinggi, memiliki wajah oriental setengah bule, hidungnya yang mancung menopang kacamata bening yang elegan. Rambutnya terpangkas rapi, dengan sedikit poni. Mengenakan jas almamater kampus, yang tak asing bagi Deefnie. Dipadu dengan celana jeans biru navy, dengan sepatu sneakers santai, mengalungkan sebuah kamera berukuran cukup besar

Deefnie memundurkan tubuhnya, mengamati dari kejauhan. Menyipitkan matanya, dan bertanya lagi dengan ogah-ogahan.

"K-kamu manusia kan?"

Lagian dia terlalu bagus untuk dikategorikan hantu.

Pemuda itu mengangguk, menanggapi pertanyaan tidak normal yang dilontarkan Deefnie. Dan semakin mendekat, kearah Deefnie.

"Kamu? Sedang apa sendirian di sini?" Tanya nya mendadak, membuat Deefnie gelagapan.

"Pakai piama lagi" Lanjutnya, sambil menahan tawa.

Deefnie melihat kearah jas yang di kenakan cowok itu, benar itu jas almamater kampus Deefnie.
Mereka satu kampus.

"Universiatas Karya Bakti?" Tanya Deefnie kemudian.

"Iya, Saya Amar" Ucapnya, sambil menyodorkan lengannya.

Deefnie menyambut uluran lengan itu, mereka saling berjabat tangan "Deefnie, aku mahasiswa di sana juga. Seni rupa"

"Oh-gitu, Saya ambil Sains" Tuturnya,  dengan suara agak serak.
"Tapi ngapain anak seni, sendirian di sini?" Lanjut Amar.

Ehh sendirian?

Deefnie melirik Dirga, yang sedang duduk di sampingnya. Seakan memberi kode, bahwa dia tak sendirian. Dirga hanya mengangkat bahunya, balik menatap Deefnie.

Apa, Amar tidak melihat Dirga?

"Ahh-sendirian?" Deefnie menoleh lagi kearah yang sama, kini bangku itu kosong. Dirga menghilang lagi, Deefnie mulai merasakan kejanggalan pada Dirga. Deefnie yakin nanti bocah tengik itu, akan muncul lagi dengan sendirinya.
Dirga masih hutang penjelasannya padanya.

"Aku cuma... cari angin" Jawabnya asal.

Amar mengerutkan dahi, ia menyimpan kamera nya di atas meja. Kemudian, duduk disamping Deefnie.

"Cari angin? Mana ada angin di sini, adanya hantu. Gak takut?"

Sok tau sekali sih cowok ini. Dia, tidak tau saja. Deefnie sudah cukup kenyang, dengan hal yang berhubungan dengan arwah orang mati. Bahkan mungkin, dia akan ngompol dicelana kalau benar-benar dapat merasakan apa yang Deefnie lihat setiap hari.

Deefnie tersenyum kecut, kemudian balik bertanya. "Kamu sendiri, mau ngapain?"

"Saya wartawan, jelas ke sini mau mencari berita dan mengambil gambar" Dengan bangga Amar menunjukkan buku kecil dari dalam sakunya, serta sebuah kamera yang baru diletakannya.

"Wartawan kampus?"

Amar menggeleng, kalau di kampus cuma sekedar di tempel di mading. Kalau saya reporter beneran, masih maggang sih. Tapi berita saya sering mengisi koran, atau kamu bisa liat berita yang saya tulis di web juga.

Amar mengaruk belakang kepalanya, memberi tatapan hangat pada Deefnie.
"Maaf, jadi promosi"

Deefnie mengembangkan senyumnya.
"Nggak apa-apa, tapi memangnya kamu mau nyari berita apa?"

Pemuda itu berdehem, kemudian membuka sebuah buku catatan kecil berwarna coklat tua. Tertempel bendera Inggris di sampul bagian depan-nya.

"Saya mau mengulas lagi berita kebakaran 5 tahun silam, di sekolah ini. Menurut saya, kasus lama itu masih abu-abu. Nggak jelas! Dan butuh penyelsaian yang konkrit" Tutur Amar.

Sixth Sense (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang