12. Saat Nyata adalah Kita

512 26 5
                                    

Note: beberapa part menceritakan kisah 5 tahun lalu. Ekstra part penentu Ending sesungguhnya.

🍁🍁🍁

Pertama kali menginjakkan kaki di sekolah ini, aku merasa menciut. Sebagai siswa baru pindahan yang cenderung memiliki sifat pemalu, aku benar-benar tidak bisa bersosialisasi dengan baik. Bahkan untuk menyapa saja aku hanya bisa menganggukkan kepala serta tersenyum simpul.

Dari depan kelas, aku berdiri bersama seorang wali kelas ini. Beliau tengah memperkenalkan diriku sebagai murid pindahan kepada siswa kelas ini. Jika dikira-kira, kemungkinan jumlah siswa lebih dari 40 orang. Itu pun belum tentu, karena aku juga tidak tahu apakah ada yang tidak masuk?

"Aluna! Coba perkenalkan diri kamu kepada teman-temanmu."

Aku mengangguk, lalu berkata semampu bibir ini bergerak, meski hanya beberapa kata. Jujur saja, aku merasa grogi berada di depan kelas, menjadi pusat puluhan pasang mata asing yang belum kukenali.

Ini mengapa alasanku menolak keras saat Ibu dan Ayah memutuskan untuk pindah.

Setelah selesai memperkenalkan diri, aku melihat dua orang siswa laki-laki berjalan masuk.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

"Dari mana, Dan?" tanya sang wali kelas. Siswa yang dipanggil 'Dan' itu tersenyum tanpa alasan. Dia menjawab, "Wc, bu."

"Dianter juga? Kayak ibu-ibu arisan."

Siswa itu hanya menggaruk tengkuknya, kikuk. "Sudah sana duduk."

Aku hanya memandangi punggungnya sampai dia tiba pada bangku paling belakang jejeran kedua.

"Aluna. Kamu bisa duduk di bangku kosong." 

Saat itu, seorang gadis berjilbab tersenyum, mengarahkan tangannya agar aku duduk satu meja bersamanya di barisan ketiga dekat jendela kaca.


"Hai! Aku, Widi," siswi yang satu meja denganku memperkenalkan diri. Aku menerima uluran tangan itu sembari menyebutkan namaku yang kuyakini mereka pun masih ingat kecuali....

Bruk...

Sebuah buku paket berhasil mendarat ke kepalaku.

Aku mengaduh, merasakan sakit yang lumayan. Mengingat tebalnya buku paket yang terlempar.

"Eh! Maaf! Maaf gak sengaja."

"Ih, Ardan mah suka gitu. Rese banget jadi cowok." Widi memprotes dengan bawelannya yang langsung dibungkam Ardan menggunakan kemoceng.

"Jorok!" Widi keluar dari bangkunya, mengejar dia yang kini justru tertawa, berlari keluar kelas.

Pandanganku teralihkan pada suasana kelas yang cukup ramai. Beberapa memilih untuk keluar, mengobrol di depan teras kelas. Beberapa juga memilih sibuk dengan make-up dan ponselnya.

Ada juga yang tengah memperebutkan ponsel, mungkin mereka adalah sepasang kekasih, melihat gelagat sang perempuan yang merajuk juga sikap si cowok yang begitu terlihat manis.

Kuputar kepalaku, melihat beberapa siswa laki-laki tengah berkumpul, mengobrolkan seputar club sepak bola favorit mereka. Ada juga salah seorang cowok yang nampak santai, sesekali memeriksa seragamnya, apakah ada yang kusut?

Aku hanya tersenyum, bertopang dagu menatap isi ponselku.

Sampai kemudian dia duduk pada bangku kosong di depan mejaku. Kakinya berselonjor santai, tangannya bergerak mengibas-ngibaskan kemeja putihnya yang sudah keluar dan berkeringat.

"Helo! Aku Ardan. Semoga betah dengan kelas yang berisikan berbagai macam manusia aneh."

Setelahnya dia tertawa, berlalu pergi meninggalkanku sendiri.

Dia adalah Ardan. Kusimpan baik-baik dalam otakku. Nama yang tidak pernah kuketahui alasannya mengapa mampu mengusik sebagian kecil hatiku. Di hari itu, hari di mana sebagai awalan kita menjalin sebuah pertemanan.

Mendung Bukan Berarti HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang