September

785 76 116
                                    

-Cinta, kita akan menyadarinya
saat semua telah pergi-

Jakarta, 01 September 2017.

Hujan masih mengguyur Ibu Kota. Masih dengan kursi yang sama aku duduk disini menanti sosok yang selalu membuatku merindu. Dia, Alvian Sastra laki-laki yang menjadi alasanku memilih sendiri hingga saat ini. Tapi, aku mencintainya aku tak ingin berdusta lagi. Jika waktu mempertemukan kita maka, akan ku katakan segalanya tanpa dusta sedikitpun.

Sudah dua jam aku duduk di sini tanpa tau kapan akan beranjak dari sini. Di temani secangkir moccalatte, aku setia menatap rintikan hujan yang menerpa jendela cafe disampingku.

Kepingan kenangan terus memutari otak ku, membuat ruang dadaku terasa pengap dan sesak. Ini bahkan sudah dua dari setengah lusin tahun yang kau janjikan, Alvian Sastra.

♡♡♡

Bukittinggi, 12 Maret 2009.

Mulai dari sekarang, pegang omonganku bahwa aku membenci laki-laki bernama Alvian Sastra. Laki-laki yang selalu datang ke sekolah dengan baju kusut yang tidak pernah ia sisipkan ke dalam celana abu-abunya dan membiarkan kancing seragamnya terbuka memperlihatkan baju kaosnya. Bahkan, selalu datang dengan sepeda ontel yang di tempeli tempelan aneh di sepedanya, dan pembuat onar di sekolah, serta yang selalu mengganggu ku dimanapun aku berada. Dia  terkenal di sekolah, bukan karena tampangnya juga bukan karena kepintaranya, tapi karena kegilaanya.

Semua kebencian itu berawal dari awal kepindahanku ke Bukittinggi. Saat itu awal kisahku di mulai.

"Hai, anak baru ya?" sapa laki-laki yang sudah kuketahui namanya Alvian, mendadak ia langsung duduk di hadapanku

Aku masih terus menyantap nasi goreng di kantin bersama Hana, teman baru ku, tanpa memperdulikan sapaan Alvian atau bahkan kehadiran Alvian

"Kenalin nama ku --" Alvian mulai memperkenalkan dirinya. Tapi Ia menggantung kalimatnya.

"Hmm, kamu cari sendiri aja yah!aku terkenal kok." Sambungnya lagi, dengan nada pedenya

Sebenarnya saat itu aku ingin mengatakan bahwa aku tau namanya, Alvian sastra seorang yang terkenal karena tingkah onarnya di sekolah.

Aku melahap cepat nasi goreng hingga habis. Setelahnya aku beranjak pergi tanpa mempedulikan Hana yang masih makan.

"Raina! Apa kamu tau? Bahwa kisah kita baru saja di mulai! Apa kamu bersedia memainkan perannya bersamaku?" ucapan Alvian membuat langkahku mendadak terhenti, membalikan badan, dan aku tak percaya dengan apa yang kulihat, saat itu ia sedang berlutut ala-ala pujangga di tengah keramaian kantin. Membuat aku kaget dan malu secara bersamaan

"Raina, sudilah engkau bermain drama kehidupan bersama ku? Siapa tau kita cinlok." Ucapnya lagi, kali ini membuat aku melebarkan mata.

'Malu' itu yang aku rasakan

Tak lama setelahnya suasana kantin menjadi riuh karena ucapan Alvian,

"Ehh, tumben anak ni, mau ngajak orang lain main drama?" ucap seseorang diantara kerumunan kantin.

"Si curut, mending kau ajak si Dora aja." sahut seseorang lagi dari kelompok kerumunan lainya.

"Woaaa, si Vian gerak gesit!!" dan yang paling keras, entah suara milik siapa di seberang meja sana.

"Teman-teman! aku kasih tau kalian, mulai sekarang Rain dalam usaha ku. Jadi, jangan ada yang dekat-dekat!" Ucap Alvian tak peduli sorakan isi kantin.

September [1/2] (End) (revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang