Suara rintik hujan membangunkan Ivory dari mimpi indahnya. Tangan Joshua yang masih menggenggam erat tangannya membuat Ivory merasa senang. Pria itu benar-benar menemaninya tidur meski harus berada dalam posisi yang kurang nyaman —duduk di samping kasur seperti menunggu pasien sadar dari koma.
"Shou.."
"Hm?"
"Sini." Ivory menarik-narik lengan Joshua, memintanya untuk naik ke kasur. "Badanmu nanti sakit semua."
"Nggak apa."
"Ck, Shou!"
Dengan kondisi setengah sadar, Joshua naik ke kasur dan membaringkan tubuhnya. Tautan jari-jari mereka sama sekali tidak terputus sampai Ivory melepaskannya agar ia lebih mudah untuk merapat pada tubuh Joshua dan mendapat sebuah pelukan hangat.
"Ayo bangun," bisik Joshua dengan honey voice-nya.
Refleks, Ivory merengek kesal. "Nggak mau. Baru aja enak, masa udah disuruh bangun."
"Enak itu cuma sementara. Nanti juga hilang enaknya."
"Karena cuma sementara itulah, harus dipuas-puasin enaknya."
Ah, sungguh pagi yang indah jika diawali dengan adu argumen.
"Katanya hari ini mau ke gereja. Masih belum terlambat kalau kamu bangun sekarang."
"Biarin, nggak usah ikut Ekaristi pagi." Ivory memang sengaja melewatkan perayaan Ekaristi agar ia bisa merasakan kedamaian saat gereja sepi. Hanya ada dirinya, Joshua, dan Tuhan.
"Satu jam lagi aku beneran bangun. Sekarang kita lanjut tidur. Ya?"
Joshua bisa melihat sorot kesedihan di mata Ivory yang berusaha disembunyikan gadis itu dengan senyuman.
"Yes, my princess."
***
Berlutut dan berdoa selama hampir dua puluh menit tak membuat Ivory merasa lelah. Begitu pula dengan Joshua yang sabar menunggu gadis itu menyelesaikan keluh kesahnya kepada Tuhan, meski isakan tak kunjung henti yang terdengar dari pertengahan doa membuat Joshua khawatir.
"Selamat pagi." Sebuah suara berat namun menenangkan mengalihkan perhatian Joshua pada sosok pria yang tengah berdiri di depannya.
"Selamat pagi, Romo."
"Apa dia kenalanmu?"
Joshua kembali menatap Ivory sebelum mengangguk dan menjawab, "Iya, kami datang bersama."
Pria berumur lebih dari setengah abad itu kemudian berpindah ke depan Ivory, memberikan berkat dan keteguhan hati padanya. Respon cepat berupa ketenangan yang langsung melingkupi Ivory membawa perasaan lega bagi Joshua.
"Saya yakin gadis ini sedang berdoa untukmu." Sang romo mengangkat rendah tangannya di hadapan Joshua dan Ivory, lalu berkata, "Pergilah dalam damai. Saya permisi."
Suasana hening yang nyaman kembali menyelimuti ruang gereja. Ivory sudah menyelesaikan doanya. Ia sedikit kesulitan saat akan duduk kembali, kakinya terasa lemas karena terlalu lama berlutut. Kepalanya tertunduk, mata kecilnya masih giat memproduksi mutiara bening yang berjatuhan membasahi pakaiannya.
Setelah beberapa kali membuang nafas berat, Ivory mengangkat kepalanya, menatap Joshua yang juga tengah menatapnya. Tangan Ivory terulur, berusaha menggapai sosok di sampingnya.
Joshua yang mengerti maksud Ivory segera meraih tubuh gadis itu dan mendekapnya dalam diam. Kebisuan yang menyenangkan karena perasaan yang berbicara.
"Tell your tears to stop falling."
"I can't," lirih Ivory yang masih sesenggukan.
"Kalau kamu terus menangis, bagaimana aku bisa tenang nantinya? Itukah yang kamu inginkan?"
Ivory menggeleng cepat. Ia tidak ingin Joshua harus tertahan lagi hanya karena keegoisannya. "Maaf..."
"Kita pasti bertemu kembali. Aku akan menunggumu."
Joshua melonggarkan pelukannya, mengamati setiap senti wajah gadis yang akan menjadi suatu kerinduan dalam ingatan, sebelum akhirnya mengecup lama kening Ivory dan menghilang pergi meninggalkannya.
終わり?
Owari?
KAMU SEDANG MEMBACA
Ghost Line
FanfictionDISCLAIMER : Seventeen © Pledis Ent. All OC © Glaisse Licia Ghost Line © Glaisse Licia GENRE : Supranatural, Fantasy RATE : T HAPPY READING !! Kayaknya cuman gue yang baru ngeh kalo LINE bisa dipake di alam lain. Iya gak sih?