Bab 9

324 5 2
                                    

Ponselku berdering lantang. Getarannya membangunkanku yang antara tidur dan terjaga di siang bolong yang terang benderang. Ini pasti telepon dari ibu atau Megan, pikirku.

"Ya, Ibu," jawabku seraya mengucek mata.

"Kinara, ini aku, Ganjar. Ini sudah hampir tengah hari, kau sudah mengingatkan ibu untuk minum obat?"

Aneh, mendapat telepon dari Ganjar, rasa kantukku tiba-tiba menghilang. "Eh, iya, aku belum menanyakannya. Setelah ini.." Belum sempat aku melanjutkan kalimat, Ganjar sudah memotongnya dengan cepat.

"Biar aku yang menelepon Megan supaya tidak lupa dengan pekerjaannya. Nanti sore, sepulang kerja, aku akan usahakan mampir ke rumah untuk memastikan keadaan ibu. Berikan teleponnya pada Pak Ihsan, aku mau berbicara dengannya."

Bukannya berbicara denganku, malah dengan Pak Ihsan. Tidak salah lagi, pasti dia memerintahkan supir pribadiku agar jangan telat makan dan sholat, serta mengemudikan mobil dengan hati-hati. Aku tahu persis gelagatnya. Perintah Ganjar harus dituruti. Megan, suster yang kusewa untuk menjaga ibu, pernah pucat pasi menghadapi marahnya dia karena lupa memberikan majikannya obat.

Meski sudah membaik pasca operasi setahun lalu, namun ibu masih dalam masa rawat jalan dan pengawasan yang super ketat. Beliau masih harus mengonsumsi obat racikan dokter sehari tiga kali. Dan Ganjarlah suster tambahan dalam menjaga dan mengawasi ibu selama aku tidak ada di rumah.

Laki-laki yang dulu sempat kubenci lantaran sikapnya yang posesif, kini membuatku mencintainya setengah mati. Bagaimana tidak, dia selalu memperlakukan ibu laiknya bayi. Dia lebih menyanyangi ibu ketimbang aku, selaku calon istrinya. Katanya, tanpa ibu, aku tak akan terlahir ke dunia dan betemu dengannya. Maka, ibu adalah segala-galanya baginya. Bahkan saat meneleponku barusan, ia justru lebih mengkhawatirkan keadaan ibu daripada menanyakan diriku sudah makan atau belum, sudah sampai dimana, dan sebagainya.

Hal yang kusukai dari Ganjar, dia tak pernah mengekangku, membuatku marah, meski pernah sekali, dua kali. Namun, sikap perhatiannya pada ibu, mampu meluluhkan hatiku yang beku.

Aku tidak tahu, apakah itu salah satu cara mendapatkan cintaku atau memang karena ia pernah berjanji untuk selalu menyayangi ibu laiknya almarhumah ibunya sendiri yang telah lama pergi.

***

Kali pertama aku mengenal Ganjar, ia sedang tersedu sedan di depan ruang jenazah di rumah sakit. Saat itu, ibuku sedang terkapar di kamar kelas ekonomi lantaran tidak memiliki banyak biaya.

Saat itu aku baru saja lulus SMA. Kelabakan benar mencari dana untuk biaya pengobatan ibu. Pekerjaanku sebagai penjaga konter hape, tidak cukup untuk mengeluarkan ibu dari rumah sakit. Hingga akhirnya aku bertemu dengan Ganjar di meja kasir. Dengan matanya yang sembab, begitu juga dengan mataku, ia sudi hati mampir ke kamar dimana ibuku dirawat, serta melunasi seluruh biayanya.

Semenjak itulah, setelah dia menguburkan almarhumah ibu kandungnya, Ganjar sering menginap di rumah sakit menunggui ibuku yang hampir sekarat. Baginya, semua ibu yang ada di muka bumi ini adalah ibunya. Aku tak sampai hati melarang sikapnya untuk mengakui kalau ibuku adalah ibunya juga.

Ganjar merupakan pribadi yang hangat, bertanggungjawab, serta mencintai ibuku sebagaimana yang ia ucapkan bahwa ibuku adalah ibunya juga. Ayahnya yang juga sudah tiada, membuat ibuku menjadi satu-satunya tempat ia mencurahkan kasih sayang.

Awalnya, Ganjar menganggapku tak lebih dari seorang adik. Tapi, lama kelamaan sikapnya yang penyayang dan hangat, berubah menjadi lebih dari seorang kakak. Ganjar memang tak pernah katakan cinta, tapi dari setiap perkataannya yang dewasa dan bijak, aku tahu bahwa dia menyayangiku lebih dari sekadar adik angkat.

DESA TERKUTUKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang