(n.) the giving of fresh mental or physical strength or energy.
——————————
Sejujurnya, Clemenza merasa sedikit jengkel, saat Kailendra bersikap acuh tak acuh padanya. Terlebih, ketika Klee ingin beranjak pergi, pria itu justru sibuk mengangkat panggilan yang masuk melalui telepon selulernya. Kai bahkan ber-aku-kamu-an dengan siapapun yang sedang menghubunginya. Menurut sepengetahuan Klee, Kai jarang sekali menggunakan gaya bahasa seperti itu selain dengan dirinya—dulu.
"Dih. Ngapain juga sih gue harus peduli?" Klee mempercepat langkahnya yang saat itu merasa dongkol bukan main. Tidak, ia tidak kesal pada Kai. Ia kesal pada dirinya sendiri karena masih memikirkan mantan kekasihnya tersebut. Seharusnya, apapun yang dilakukan Kai tidak perlu lagi mengusik dirinya karena keduanya sudah tidak memiliki hubungan spesial apapun.
Karena sedang diliputi amarah, Klee tidak terlalu memperhatikan langkahnya, sehingga tabrakan dengan seseorang pun tak terelekkan. "E-eh, maaf." Klee refleks meminta maaf kepada siapapun yang baru saja ia tabrak.
"Nggak a—pa-apa."
Klee mendongak dan mendapati bahwa sosok yang baru saja ditabrak olehnya adalah seorang perempuan seusianya. Akan tetapi, yang membuat Klee terkejut adalah ekspresi wanita tersebut.
Wanita itu menunjukkan raut yang sulit diartikan—seperti ada amarah yang sedang ditahan olehnya.
Tapi, kenapa?
Klee hanya tidak sengaja menabrak wanita itu. Kenapa dia harus marah pada Klee?
Setelah hanya saling bertatapan selama sepuluh detik, wanita itu akhirnya membuang muka. "Permisi," ucapnya gusar sembari berlalu pergi meninggalkan Klee yang tidak memahami sikap anehnya.
Klee menoleh ke belakang, memandangi punggung sang dara yang menjauh pergi. "Dasar cewek aneh."
—
"Saaan, lo di mana?" Klee menghubungi Sandi, berniat untuk meminta sepupunya itu datang menjemputnya di mall yang baru saja ia kunjungi, di mana ia menemui sang mantan kekasih.
"Gue lagi di jalan nih. Macet." Sandi terdengar jengkel saat menjawab pertanyaan dari Klee. Sepertinya, Sandi jengkel karena dihadapkan dengan kemacetan Ibukota seperti biasa. "Kenapa, Klee?"
Klee memasang wajah kecut. Niatnya untuk meminta tolong pada Sandi pun menguap seketika. Ia tidak ingin merepotkan Sandi dengan harus menjemputnya dan membuat pria itu harus berhadapan dengan kemacetan lebih lama. "Nggak. Nggak apa-apa," jawabnya bohong. "Ati-ati kalau gitu. Jangan ngebut yak."
Sandi menggumam. "Aneh banget lo. Nelpon, tapi cuma nyuruh gue hati-hati doang."
"Ya terus, lo berharap gue ngomong apaan, ketek anoa?" balas Klee sedikit menggerut. "Oh, lo lagi di jalan, San? Jalan menuju neraka? Gitu?"
Sandi justru tertawa di ujung telepon.
"Dih, malah ketawa." Klee mendengus pelan.
"Auk ah. Udahan dulu yak, Klee."
"Hmmm." Kali ini, giliran Klee yang hanya menggumam, kemudian memutus sambungan telepon dengan sepupunya itu. Saat ia hendak beranjak dari tempatnya berpijak saat ini, Klee baru menyadari ada seorang pria yang sedang mengamatinya secara terang-terangan.
"Clemenza, ya?"
Klee mengerjap kaget. Ya Tuhan. Pria di hadapannya ini adalah bosnya, Mateo. "E-eh, iya, P-pak Mateo," balasnya kikuk. Ia sama sekali tidak menduga jika ia akan bertemu dengan atasan barunya tersebut di sini. Tiba-tiba saja, Klee cemas jika Mateo mendengar percakapan Klee dengan Sandi. Meskipun tidak ada hal mencurigakan yang dibicarakan keduanya, tetapi pembicaraan mereka bisa saja terdengar 'liar' untuk orang yang tidak mengenalnya dengan baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Polaris
General Fiction[ SEQUEL OF ENDING PAGE ] (n.) A fairly bright star located within one degree of the north celestial pole, in the constellation Ursa Minor. One of circumpolar stars. ---------- Bagi Kailendra, Clemenza adalah Polaris-nya, bintang malam yang akan sel...