4

7 2 0
                                    

Cafe beranjak mendekati Rayhan. Rayhan berusaha meredam emosinya, ia tak mau salah langkah.

"Ada apa, Ray?" tanya Cafe.

"Jam istirahat bisa kita ngomong?" Rayhan balik bertanya.

"Pertama atau kedua?"

"Pertama aja,"

"Oke. Di mana?"

"Ntar aku aja yang ke kelas kamu,"

"Oke deh,"

Rayhan berlalu kembali ke kelasnya. Cafe kembali menghampiri Moka.

"Jam istirahat pertama Rayhan mau ngomong ama gue, mending lo cabut dulu kemana gitu," ucap Cafe.

"Hm.. susah ya deketin princes sekolah, banyak saingan," sahut Moka dengan cibiran.

"Lu tuh untung deketin langsung direspon, yang lainnya ngimpi bisa kayak gitu," Cafe melipat tangan di depan dadanya dan berlagak membuang muka.

"Kenapa?" satu pertanyaan itu sukses membuat Cafe bungkam. Masa iya jika ia mau membeberkan bahwa Cafe menaruh rasa pada Moka sudah satu tahun lebih. Ia sebagai cewek tak seharusnya membuat kode sekeras itu agar Moka peka.

"Gue balik ke bangku dulu," Cafe mengalihkan pembicaraan lalu pergi ke tempat duduknya.

Posisi duduk Cafe dan Moka bisa dibilang sangat jauh. Moka duduk di barisan ujung dekat pintu paling belakang, sedang Cafe duduk di depan meja guru.

"Lo deket sama Moka sejak kapan?" tiba di kursinya, Cafe sudah disambut aura dingin dari Audy.

"Eh.. baru kemarin," jawab Cafe canggung.

"Cepet banget langsung lengket," sindir Audy.

"Kenapa?" tanya Cafe memberanikan diri untuk melawan jika Audy berani mengajaknya perang mulut.

"Gapapa," sahut Audy pendek.

"PENGUMUMAN! HARI INI PAK DARWIS TIDAK BISA HADIR DI KELAS LANTARAN SAKIT. SILAHKAN KERJAKAN TUGAS BUKU CETAK HALAMAN 27!" seru Faris--ketua kelas XI IPA D.

"Ngerjain bareng?" Moka sudah berdiri di sebelah Cafe membawa buku dan alat tulisnya.

"Ke perpustakaan, ya!" ajak Cafe.

Moka mengangguk. Mereka berjalan beriringan ke perpustakaan.

"Si Audy kayaknya ngebet banget sama lo," cerita Cafe.

"Emang iya," sahut Moka.

"Kenapa ya bisa segitunya banget? Padahal banyak cowok di sekolah kita yang charming selain elo,"

"Cemburu lo?" Cafe sontak berhenti.

"Eh, kenapa emangnya?"

"Gapapa," sahut Moka datar.

"Sikap lo itu kayak cuaca, berubah ubah, gak nentu. Biasanya juga cewe yang gitu," cibir Cafe.

Moka berhenti menatap Cafe yg berdiri di sebelahnya. Kedua tangan Moka sudah menempel pada wajah Cafe.

"Ya ini gue, suka atau enggak nya lo sama gue terserah Cafe. Gue gak perlu jadi orang lain kan buat nunjukkin kalo gue sayang sama lo?" suara Moka bagai menyihir Cafe.

"Gue gak salah respon lo secepet ini. Nyatanya dari sekian banyak yang deketin, mereka cuma nunjukkin sisi baik mereka ke gue tanpa gue tahu gimana buruknya mereka," balas Cafe lalu tersenyum.

Moka mengacak gemas rambut Cafe. Mereka kembali berjalan ke perpustakaan.

***

Rayhan duduk di sebelah Cafe. Cafe memainkan jemarinya menghilangkan gugup.

"Kenapa lo bisa secepet itu sama Moka?" tanya Rayhan tenang.

"Ya.. gapapa, salah?" Cafe balik bertanya.

"Cafe yang aku kenal gak mudah nerima orang hadir ke hidupnya," Rayhan menatap kosong ke depan.

"Ray, aku punya hidup sendiri. Gausah ngintimidasi gini, aku ga suka!" bentak Cafe.

"Ternyata Moka berhasil merubah Cafe menjadi mudah emosi," ucap Rayhan tetap tenang.

"Mau kamu apa?" tanya Cafe akhirnya.

"Jauhin Moka buat aku Cafe. Kamu tahu? Papa kamu itu bawahan Papa aku," sahut Rayhan menatap Cafe dengan mata piciknya.

"Kamu gak bisa maksain aku. Lantas kalo Papa aku bawahan Papa kamu kenapa?" tantang Cafe.

"Kamu mau hidup di rusun kalo Papa aku pecat Papa kamu?" balas Rayhan.

"Nyatanya hidup gak selalu nurutin ego lo, Han!" Moka menarik lengan Rayhan untuk berdiri dari duduknya.

Rayhan menatap Moka dengan tenang.

"Oh, mau jadi pahlawan buat Cafe?" sinis Rayhan.

"Diem lo. Kalo lo cuma mau cari ribut, keluar aja," suara Moka terdengar tegas.

Rayhan berbalik dan pergi dari kelas Cafe.

"Lo gausah kasar gitu, Mo," ucap Cafe mengelus pundak Moka pelan.

"Gue gak suka dia sok berkuasa mentang-mentang keluarganya itu punya harta," sahut Moka.

"Udah," Cafe kembali menenangkan emosi Moka.

"Kapan lo nerima gue jadi pacar lo?" Moka menyelami mata hitam Cafe.

"Sekarang," sahut Cafe cepat.

Masala(ku)luTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang