***

86 6 6
                                    

TANGISAN langit perlahan menyapa. Jinsol yang baru sampai di gerbang sekolah langsung tancap gas secepatnya ke halte di seberang jalan. Dengan tas punggung di atas kepala yang dia gunakan untuk melindunginya agar tidak terlalu basah, Jinsol melangkah terburu-buru menyeberang menerobos rintik-rintik air. Persetan dengan sepatu putihnya yang akan kotor.

"Kenapa mesti hujan, argh," Gerutunya ketika sampai. Segera saja gadis itu duduk di sana. "Kak Nami juga dimana, sih? Jangan bilang lupa jemput."

Sekedar tambahan, Nami itu kakak sepupu yang tinggal satu apartement dengannya. Pernah sekolah di sekolah Jinsol juga, lulus dua tahun lalu.

Harusnya Jinsol sudah pulang setengah jam lalu, jika saja tugas piket mingguan tidak membuatnya tertahan di kelas dan berakhir dengan basah-basahan menunggu jemputan di halte seperti saat ini.

Jinsol menepuk-nepuk seragam putihnya. Sedikit basah, tapi tidak sampai membuatnya terlihat transparan. Tak lupa, Jinsol mengutuk dirinya yang lupa mengecek pemberitahuan cuaca hari ini, lupa bersiaga membawa payung, dan lupa membawa powerbank. Ya, baterai ponselnya sudah benar-benar tinggal menunggu untuk menghitam sepenuhnya.

Dan kau tahu apa bagian terburuknya?

Jinsol sendirian di sini, dengan keadaan perut yang sakit sekali seperti dicengkeram kuat, dan ia sudah merasakannya sejak dua jam lalu.

Gadis itu memijit pelipisnya menggunakan tangan kanan, sementara tangan satunya memegangi sisi perut. "Ini hari yang sial, bangs─"

"Dek, omongan tolong dijaga ya."

Sebuah suara memotong umpatannya yang nyaris terlontar. Suara pria. Jinsol buru-buru menoleh dan mendapati guru Olahraga honorer di sekolah, dengan radius 2 jengkal di sebelah kanannya, tengah menatapnya disertai senyum kalem yang─ asdfghjkl, itu terlihat tampan sekali, dan juga manis.

Apa tadi? Manis? Otak Jinsol pasti mulai bermasalah.

Tapi omong-omong, sejak kapan dia ke sini dan duduk di sebelahnya?

Masa bodoh, lupakan saja ini tidak penting.

"Maaf, Pak Jihoon."

Dia tiba-tiba tertawa kecil. Heol, ada yang lucu dari ucapan Jinsol barusan?

Tapi satu hal yang harus Jinsol tambahkan di sini, guru terganteng plus termuda satu sekolah ini, dengan memakai coat hitam, keadaan brunette hair-nya yang sedikit lepek dan membuat Jihoon terlihat maskulin, serta mata melengkung indah ; adalah benar-benar masterpiece yang tidak bisa dilewatkan oleh matanya. Cogan euy, jangan tolak rejeki dari Tuhan.

"Cukup panggil saya Kak Jihoon. Atau Abang? Mas juga boleh. Kita hanya beda empat tahun jadi tidak usah formal. Lagian ini sudah di luar lokasi sekolah."

Dia, Park Jihoon, bicara terlalu banyak. Jinsol yang tidak peduli akan inti omongan Jihoon dan malas menanggapi hanya bilang, "Iya, Kak."

Jinsol kembali menahan umpatan. Hujan dengan kurang ajarnya semakin deras. Suhu jadi dingin. Rok span abu-abu selutut yang ia kenakan jelas tidak akan bisa membuatnya hangat.

Setelah hening cukup lama, tangannya dengan kecepatan maksimal membuka tas bagian depan, meraba-raba dalamnya dan dalam sekejap mendapatkan barang yang dia cari. Ponselnya yang sekarat. Bergegas Jinsol membuka lockscreen, mencari kontak 'Kak Nami Bodoh' dan menekan ikon telepon hijau.

"Cepat angkat, ish!" desisnya tak sabaran. Matanya sesekali melirik ke arah Jihoon yang tengah bersandar pada dinding di belakang punggungnya sembari memejamkan mata khidmat, mendengarkan alunan lagu dari earphone hitam yang menyumpal telinganya.

Pak (Kak) Jihoon || OneshootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang