Hujan & Kenangan

636 50 8
                                    

Karena kamu, aku lupa waktu untuk menunggu. Karena dia, aku tidak sempat untuk bahagia. Bersamamu adalah cita-cita ku, menjalin cinta denganmu adalah bahagiaku tanpa ditunggu. Aku memang pandai merangkai kata, namun tidak pandai merangkai kita.
—Fadel Arghani Pradipta.

       "Kita putus!"

       Kalimat yang diucapkan Adel berhasil membuat jantung Fadel terasa di pukul palu godam. Telinga nya menangkap kalimat itu dengan cepat tanpa adanya filterisasi. Adel berjalan cepat dengan nafas yang terengah-engah. Fadel mengekori perempuan yang di depannya sambil meminta maaf.

       "Aku nggak mau putus, Adel. Aku sayang sama kamu," ucap Fadel mengemis pada Adel. Perempuan itu hanya berjalan tanpa menghiraukan suara yang ada di belakangnya.

       "Lo sekali-kali nya berani banget ngebohongin gue, Fadel!" bentak Adel, "alasan apa lagi, hah? Lo mau nutupin sifat lo yang pendiem itu dengan semua ini? Basi!" Adel menjatuhkan lembaran-lembaran surat yang ditulis oleh Fadel untuk Tara.

       Fadel merasa bersalah atas sikapnya yang gegabah. Tidak seharusnya ia segegabah ini pada Tara. Meski Tara sahabatnya, Fadel akan selalu menyanyangi perempuan itu.

       "LEPAS!" suara Adel meninggi bahkan seluruh murid yang sedang berdiri di koridor spontan menatap ke arahnya, menjadi pusat perhatian sekitar.

       "Tapi, Del— Adela!" panggil Fadel meski langkah Adel sudah jauh dan berbelok menaiki tangga kelas sebelas. Fadel hanya mencengkram celana abu-abunya kuat-kuat dengan wajah frustasi.

---

       Adel sedang terduduk di depan taman sekolah dengan novel remaja yang masih memenuhi kedua tangannya. Perempuan itu menikmati semilir angin siang hari yang dimana—cuacanya mendung. Awan-awan hitam telah berkumpul menjadi satu yang sebentar lagi akan turun hujan.

      "Adela, kasih aku waktu buat ngomong," pinta Fadel pada perempuan itu. Yang diajak bicara enggan menjawab.

       Fadel memasang posisi duduk di sebelah Adel dengan tangan kanan yang menggenggam gitar akustiknya. Musik akan selalu menjadi favoritnya, begitupun Adel.

      "Geseran," pinta Adel sambil menjaga jarak. "Ngapain juga lo deket-deket gue?!"

       Fadel merasa tidak enak dengan sikap Adel sekarang. Berubah drastis 180 derajat.

       "Kamu masih petrikor, Del?"

       "Yang lo liat gimana?" Adel menjawab ketus.

       "Kan kita sama. Masih suka hujan. Yaaaaaa, Petrikor."

       Fadel menggeser tubuhnya agar dekat dengan Adel. Bahkan aroma parfum yang melekat di seragam Adel, Fadel selalu suka. Harum perempuan itu tidak pernah mengecewakan.

       "Aku mau ngomong hal penting, Del,"

       "Ngomong cepet,"

       "Aku tau kamu nggak akan mau dengerin alesan dibalik semua ini. Aku tau kamu nggak mau lagi tau alesan semua ini. Dan aku nggak mau kamu salah paham sama apa yang udah kamu liat. Itu salah, Del," Fadel menjelaskan.

       Adel hanya diam tak berbalik menatap Fadel yang sedang bicara padanya.

       "Del, aku mohon kali ini aja kamu dengerin aku. Ini penting. Kita harus kembali kayak dulu. Ini jauh lebih penting, Del." pinta Fadel disertai dengan nada suara serak.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 26, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Why Him Go? [One Shot Story]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang