"Hai, kak."
Aku hanya berdiri mematung mendengar sahutan itu. Bukan. Bukan karena suara anak itu terdengar aneh. Bukan juga karena senyuman yang terukir di bibir tipisnya yang pucat terlihat mengerikan; senyuman itu selalu indah bagiku, dan sehangat mentari. Hanya saja, tatapannya yang menatap lurus ke arahku, seakan-akan dia bisa melihatku tengah berdiri di depan pintu...
Ah. Aku mulai menyadari sesuatu.
Dia semakin dekat dengan alamku. Artinya, waktunya juga semakin dekat.
"Kenapa kakak bengong aja disitu? Nggak mau masuk?" Katanya lagi. Aku belum ada niatan untuk menjawab. "Kakak siapa? Aku baru lihat. Kakak anaknya teman Mama?"
"Bukan."
"Terus? Siapa?"
Aku berjalan mendekat, kemudian kupandangi lamat-lamat wajahnya. Semakin hari hanya semakin tirus dan pucat. Namun, sorot kekanakkan itu tidak pernah menghilang; saat ia menatap ibunya, ayahnya, adik dan kakaknya, bahkan saat ia memandangku penasaran saat ini.
"Kak?"
Dia adalah keindahan yang terpampang nyata di depanku. Warna di balik pucatnya, keceriaan di balik sakitnya, dan kekuatan di balik kerapuhannya saat ini.
Tuhan, bolehkah aku--
"Aku yang akan menjagamu, sayang. Sampai waktunya Dia memintaku untuk membawamu pulang."
.
Jam menunjukkan pukul setengah dua pagi, dan masih belum ada tanda-tanda Tuhan akan memerintahku untuk mencabut nyawanya.
Aku bersyukur. Setidaknya dia masih memiliki waktu untuk membuat keluarganya bernafas tenang.
Untuk sekarang, aku memilih berdiri di pojok ruangan, cukup jauh dari bangsal anak itu. Disana juga ada ibunya; aku belum bisa terlalu dekat.
"Ma."
Kulihat ibunya yang tengah terkantuk-kantuk kembali memaksakan diri membuka mata. "Kenapa, Krist? Ada yang sakit, sayang?"
"Nggak, Ma." Anak itu menggeleng, "Itu, ada kakak itu. Dia bilang dia mau jaga aku sampai dia bawa aku pulang."
"Siapa, sayang?"
"Nggak tau. Tapi katanya dia mau bawa aku pulang. Itu, dia ada di sana."
Krist, ia menunjuk ke arahku.
"Dimana, nak?"
"Itu dia disana."
Gurat sang ibu kebingungan. "Tapi disana nggak ada siapa-siapa."
"Ada. Dia disana, Ma."
Ibumu tidak akan bisa melihatku, Krist sayang. Kau yang akan kujemput, bukan dia.
Aku menangkap tatapan bingung yang ia layangkan padaku. Aku tak berkata apa-apa.
Wajahnya indah sekali.
"Nggak ada, sayang."
"Tapi dia disana. Dia mau bawa aku pulang. Dia disana."
"Yasudah," Hela sang ibu akhirnya. Sekali lagi, ia memandang ke arahku, namun meleset. "Krist bilang sama kakak itu, Krist pulangnya sama Mama dan Papa. Nanti kalau Krist sudah sembuh, ya."
Dapat kudengar getar ketakutan dalam suaranya. Apa wanita itu tahu siapa yang dimaksud putranya, meski ia tidak dapat melihatku?
"Krist jangan mau diajak pulang kakak itu."
Sayangnya, kematian tidak bekerja seperti itu.
.
"Mama nggak bisa lihat kakak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Membawamu Kembali Pulang
FanfictionPada setiap hembusan nafasnya, hanya ingin kulihat dia tersenyum bahagia; sebelum detik menghilang dan pergi meninggalkannya untuk selamanya. Warning: genrenya.