RASANYA hari berlalu begitu cepat. Awan gelap menjadi saksi seseorang berdiri di samping gundukan tanah merah yang masih basah. Gadis itu masih belum bisa menerima fakta bahwa orang yang paling sering bertengkar denganya rela mengorbankan nyawanya sendiri untuk dirinya. Menangis pun percuma, meraung-raung pun tidak ada gunanya, orang itu tidak akan bisa hidup kembali.
*****
Suara tepuk tangan menggema keras di dalam ruang besar itu. Seseorang telah berhasil menampilkan keahliannya bermain biola. Gadis itu membungkuk mengucapkan terima kasih.
Ia berjalan kebelakang panggung, sudah banyak orang juga yang sudah menunggu kehadirannya. Tepuk tangan pun sekali lagi ia dapatkan. Bergantian mereka memeluk gadis itu, menatap dengan pancaran bahagia, haru, dan takjub.
"Permainan kau benar-benar luar biasa."
"Yah, mendengar musik yang keluar dari biola kau saja sudah membuatku merinding tak karuan."
"Benar-benar bertalenta, sudah cantik, pintar bermain biola ... sempurna."
Rinjani, nama gadis itu, hanya bisa tersenyum kecil ketika menerima semua pujian. Ini akan menyakitkan, jika ia mengingat karena siapa ia masih bisa berdiri disini dan bisa menampilkan keahliannya dalam memainkan melodi lewat alunan biola.
Mungkin tanpa-nya, ia tidak akan bisa hadir dalam acara ini.
"Terima kasih semuanya, aku permisi dulu." ujar Rinjani yang diangguki oleh semua orang disana.
Kaki jenjangnya melangkah meninggalkan tempatnya berdiri tadi. Di samping pintu keluar ada seseorang yang sudah menunggunya, membawa sebuah bunga yang ditaruh dibelakang punggung laki-laki itu. Bibir terasa tak mau menutup, air mata terus mencoba menjatuhkan dirinya dari pelupuk mata yang menyimpan kesedihan mendalam.
Tapi ini air mata bahagia.
"Untuk seseorang yang berhasil membuat semua orang bertepuk tangan, dan mengucapkan terima kasih karena seseorang sudah mau memainkan musik yang begitu indah."
Rinjani tertawa kecil, ia mengambil buket bunga itu dan menghirupnya sebentar ketika sudah berada di tangan. Harum. "Makasih."
Laki-laki itu mengangguk. "Kopi?" tawarnya kemudian. Rinjani menimbang sebentar yang pada akhirnya ia setuju. "Caramel macchiato." jawabnya yang dibales oleh kekehan kecil.
*****
Kepulan asap membumbung tinggi ke atas langit ketika Rinjani dan laki-laki yang bernama Dylan itu memilih meminum kopi mereka di tengah jalanan malam kota yang dingin. Ada yang sedikit menganggu dipikiran Dylan, ingin ia tanyakan perihal keadaan Rinjani.
Secara fisik Rinjani baik-baik saja sekilas Dylan lihat, tapi Dylan merasa secara batin jika gadis yang sudah menemani sepulun tahun hidupnya itu sedang tidak baik-baik saja. Antara ragu dan keingintahuan-nya, Dylan akhirnya berpihak pada rasa ingin tahu.
"Kamu ... baik-baik aja kan?"
Rinjani menatap Dylan, "Seperti yang kamu liat, Lan, aku baik-baik aja."
"Kamu tau yang aku tanyakan bukan perihal keadaan fisikmu, tapi batinmu."
Genggaman Rinjani pada gelas kopi di tangannya semakin erat. Panas yang masih bertahan di tengah dingin, menjalar mengenai kulit bersih itu. Dengan pertanyaan Dylan ini, semakin membuat rasa bersalah dirinya semakin bertambah, mungkin bertambah pangkat dua.
"A-aku--" ujar Rinjani terbata-bata, belum bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk membungkam Dylan.
"Kau tahu, Jani, itu bukan salahmu, walaupun kamu meminta untuk kembali ke masa itu, kejadian itu tetap terjadi. Ini takdir, Jani!!"
Kepala Rinjani menggeleng cepat, isakan mulai terdengar dibalik bibir yang sudah pucat. "Tapi itu tetap salahku, Lan. Andai aku dengerin dia dan kamu--"
"Sst, jangan salahin diri kamu lagi. Kamu tau, Kak Rian pasti ngga akan seneng liat kamu sedih begini."
Dalam diamnya langit, Rinjani menumpahkan kesedihannya. Ia menangis dengan tangan yang masih mengenggam secangkir kopi hangat. Jika saat itu ia masih mau mendengarkan kakaknya, Rian, pasti sekarang kakaknya akan merasa bahagia dan dia bisa sedikit sombong terhadap laki-laki itu.
Dia dan Rian memang tidak pernah akur, apapun pasti akan mereka ributkan, mau itu hal kecil atau besar sekalipun. Dan finalnya, saat ia lebih memilih membela kekasihnya dari pada mendengar omongan buruk kakaknya tentang kekasihnya itu.
Masih terlihat jelas dipikirin Rinjani tentang raut wajah kesal kakaknya. Bagaimana kakaknya itu melarang dirinya untuk tidak pergi, menahannya seraya berkata, "Dia ngga baik buat kamu, pacar kamu yang buruk itu hanya membawa pengaruh yang jelak. Kakak ngga ijinin kamu pergi, Jani!"
Andai ia tahu itu kata terakhir yang gadis itu dengar, demi apapun, ia akan menurutinya. Menyesal? Iya, Rinjani menyesal. Nasi pun sudah menjadi bubur. Benar apa kata pepatah, penyesalan memang selalu datang di akhir.
"Aku emang bodoh ya, Lan." bergetar suara Rinjani ketika mengatakannya.
Dylan hanya diam dengan tangan yang terus mengelus punggung Rinjani. Ingin mengatakan bahwa tidak sepenuhnya Rinjani salah pun rasanya percuma saja, gadis itu akan tetap menyalahkan dirinya atas kematian kakaknya sendiri.
"Kamu tau, Jani, mungkin Kakakmu akan lebih bahagia seperti ini, karena jika kamu yang sekarang sudah tidak berdaya di bawah tanah, dia akan sangat menyesal sekali sebagai seorang Kakak."
Ucapan Dylan membuat Rinjani menatapnya, "Kak Rian, dia sering cerita bagaimana kalian bertengkar. Walaupun dulu dia iri karena orang tua kalian lebih mempercayai kamu, tapi ia tetep bahagia, karena apa?" ada jeda di ucapan Dylan.
"A-apa?" Rinjani memaksa Dylan untuk melanjutkan ucapannya.
"Karena kamu. Dia bahagia, karena mempunyai adik seperti kamu, banyak orang yang peduli sama kamu seperti dirinya. Dia sayang kamu lebih dari yang kamu tau ... mungkin dia juga akan sedih melihat kamu yang terus merasa bersalah."
Rinjani memejamkan mata sebentar saja, kemudian ditatapnya langit yang mulai menunjukan banyak bintang yang bertebaran dan bulan yang bersinar terang sendirian. Awan gelap yang tadi sempat menutupi langit, entah kemana sekarang perginya.
"Lihat, Kak Rian pasti seneng ngeliat kamu tersenyum. Bahkan bulan dan bintang pun serasa enggan untuk muncul karena kalah indahnya dari senyum kamu."
Muka yang mendung itu berganti sedikit lebih cerai, badai sudah berlalu. Senyum merekah ketika mendengar rayuan receh milik Dylan itu. Benar apa kata Dylan barusan, setidaknya biarkan kakaknya itu bahagia di alam yang sudah berbeda dengan dirinya.
"Makasih, makasih, Lan." ujar Rinjani.
Dylan mengangguk, tangan besarnya bergerak mencari tangan kecil Rinjani. Mengenggamnya dengan erat dan tidak akan membiarkannya terlepas lagi. Di tengah jalan kota yang sepi, di bawah ribuan bintang dan bulan yang menjadi saksi, mereka mengenggam tangan satu sama lain dan terus berjalan dengan secangkir kopi yang menemani.
*****
Dari atas langit, seseorang dengan pakaian serba putih tersenyum menatap kedua insan itu. Air mata itu terjatuh dari pusarannya. Bahagia. Tugasnya sudah selesai, ia bisa lebih tenang sekarang.
*****
Tamat..
•
•
•
•
•Semoga kalian bisa mengambil hikmah yang ada dicerita ini. See you on my other story..
Salam,
raggaziBogor, 27 Desember 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Thank's
Short Story[ EVENT LUCIFEROUS @wattpdsquad ] Terima kasih untuk semuanya. Tidak seharusnya aku membencimu. Karena disetiap benci, terselip rasa peduli. Maafkan aku yang tidak bisa menjadi seorang adik yang baik. Maafkan aku, karena aku kamu harus selalu mender...