Bab 10

400 6 2
                                    

Sepasang burung pipit saling berkejaran, yang betina hinggap di pucuk padi yang menguning, serta yang jantan tak mau kalah untuk bertengger di tempat yang sama. Karena tidak ada yang mau mengalah satu sama lain, dahan padi yang merunduk itupun patah. Buliran padi yang menempel pun semakin merunduk. Kedua burung itu sempat mematuk beberapa butir padi lantas terbang lagi entah kemana.

Cahaya Jingga di langit Brebes mulai menyeruak indah. Mobil sedanku baru saja melintasi rumah makan khas Tanjung yang dulu ibu dan ayah sering kunjungi untuk memakan sate kambing. Aku menelan ludah. Rasa sate itu sungguhlah lezat. Tapi aku tak punya banyak waktu untuk segera tiba tepat waktu sebelum langit gelap.

Lalu lalang kendaraan roda dua cukup ramai berseliweran. Ada yang membonceng anaknya yang masih kecil untuk berjalan-jalan sore, ada yang dengan pasangannya, serta ada yang sendiri seperti habis melakukan perjalanan jarak jauh.

Tidak seperti dulu, saat aku sering bolak-balik Jakarta-Brebes untuk menemui kedua orangtuaku pada liburan caturwulan. Zaman kecilku, hanya ada sepeda ontel yang satu-dua melintas. Serta becak pengangkut manusia yang baru saja keluar dari bus umum di pertigaan Tanjung.

“Setelah pos polisi, belok kanan Pak!” tegasku sambil mengingat-ingat jalan.

Tak dapat dipungkiri, bangunan baru membuatku sedikit amnesia menghafal seluruh sisi desa yang dulu kuhafal. Kota Banjarharjo yang merupakan kecamatan dari beberapa desa di Selatan Brebes, dimana jalan ini sering kulewati bersama Kak Eli, Kak Iin, dan Kak Fatin dengan mengayuh sepeda ontel tujuh kilometer untuk menuju pasar.

Sebenarnya selain sepeda dan becak, delman merupakan trasnportasi utama masyarakat Banjarharjo yang amat digemari. Aku termangu saat menyadari bayangan Surya sekelebat lewat di depan mataku. Tentu saja itu hanya halusinasiku.

Di jalan yang sama, aku dan cinta monyetku, pernah sembunyi-sembunyi keluar rumah pada pagi buta hanya untuk berolahraga bersama. Kak Eli, Kak Fatin, dan Kak Iin tak pernah absen mengiringiku kemana aku pergi dan dengan siapa. Katanya, takut aku diculik kalong wewe jika pergi sendirian, atau berdua, karena ketiganya setan.

Akses jalan raya yang kupijak hari ini, tak ubahnya tiga belas tahun silam. Masih berlubang, dan berserakan bebatuan kerikil. Pak Ihsan menjaga kemudinya agar bisa menahan ban mobil tidak terperosok ke dalam jurang. Jika musim penghujan, lubang-lubang ini ibarat kolam susu coklat yang menggenang memenuhi sebagian besar posisi kanan, kiri, dan tengah jalan. Sungguh memprihatinkan.

Barisan pohon akasia dan mahoni yang membentang sepanjang jalan dan sisi sungai, serta lambaian pohon nyiur yang melambai, nyaris membuatku tak berkedip. Ada kerinduan yang membuncah dadaku. Maka, dengan sengaja, aku membuka kaca mobil dan menengadahkan wajahku ke luar. Suara jangkrik yang berderik-derik, serta kicauan burung hantu, melenguh di senyapnya senja. Semburat jingga di barat, menambah anggun lukisan di depan mata. Angin sepoi-sepoi menamparku akan kenangan lama di desa yang telah lama kutinggalkan ini.

“Belok kiri, Pak Ihsan!,” tuturku membimbing supir pribadiku.

Kalau bukan karena paksaan dari Ganjar, aku tidak akan meminta Pak Ihsan untuk menemani perjalananku ke kampung halaman. Namun, karena dia tak ingin melihatku kelelahan lantaran menyetir kendaraan terlalu lama, aku pun dengan berat hati menurut. Karena ibu pun tak ingin membiarkanku sendirian mengahdapi masa lalu yang mungkin akan membuatku jatuh pingsan dengan semua kenangan-kenangannya.

Selama satu minggu, aku memang tidak ada jadwal praktek di rumah sakit. Kurasa inilah waktu yang tepat untuk menengok sepotong kehidupanku. Ganjar bersikeras menemaniku, namun aku melarangnya.

Baiklah, kita telah tiba di bagian yang menyentuh hati. Di pinggir parit, Pak Ihsan mencoba memarkirkan mobil. Aku keluar tanpa membunyikan suara agar warga tidak curiga dan menengok penasaran. Adzan Maghrib baru saja berkumandang. Tidak ada satu pun manusia yang berkeliaran di luar rumah. Mungkin sebagian sedang menunaikan sholat di rumah masing-masing ataupun berjamaah di surau. Mayoritas penduduk Dukuh Beber ialah beragama muslim.

DESA TERKUTUKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang