DEMARKASI. Batas tak kentara itu kini menjelma nyata. Tidak pernah ada yang mengira antara dua manusia itu ... berakhir pada keterdiaman berkepanjangan.
Seperti saat ini, SUV hitam itu berhenti di sebuah area parkir di depan sebuah toko buku. Namun ... pemiliknya enggan turun dan hanya mengamati seseorang—yang sedang sibuk melayani para konsumen toko buku tersebut.
Enggan itu kembali hadir di relung hatinya. Sesak itu kembali mendominasi, padahal ruang itu kosong tak berpenghuni. Dan embusan udara dingin dari air conditioner mobilnya turut berperan aktif dalam menambah dingin perasaannya.
Diamatinya kembali seseorang di dalam sana—yang kini sedang tertawa lepas bersama pegawainya. Lalu sepasang netranya tertumpa pada arloji yang sudah menunjuk pukul sembilan malam, dan aktivitas toko buku itu mulai merenggang.
Beberapa pegawai mulai sibuk membereskan buku yang sedikit tercecer di beberapa rak dan beberapa sudut sudah mulai diredupkan penerangannya.
Lagi, kedua netra pria itu kembali mengedarkan pandangan ke dalam toko, mengamati sosok yang sedang memberikan uang kembalian pada pengunjung terakhir seraya menangkupkan kedua telapak tangan dan mengulas senyum ramah.
Itulah tanda terakhir baginya untuk segera meninggalkan tempat itu. Tempat yang rutin dikunjunginya setiap ia pulang kerja, sebulan belakangan ini.
Maaf untuk apa yang tak pernah bisa saya lakukan untuk kamu, batinnya.
Detik berikutnya, mesin itupun kembali menderu. Lalu mobil hitam itu kembali melaju kencang bersama bayangan pengemudi yang hilang dalam remang lampu jalanan.
*****
LELAH. Satu dari jutaan kata yang ada dalam perbendaharaan kepalanya, lelaki itu memilih kata: lelah.
Ya. Bukan hanya tubuhnya yang lelah karena aktivitas sehariannya. Tetapi juga hati dan pikirannya. Ia tahu kalau sesama manusia tidak boleh bermusuhan lebih dari tiga hari. Namun kenyataannya, sudah tiga bulan lebih ... dan dia masih enggan menghubungi pria itu.
Bukan karena tidak rindu. Hanya saja, egonya terlampau besar untuk bisa ia bendung sendiri. Egonya terlalu luas untuk bisa ia taklukkan sendiri. Dan egonya terlalu dalam untuk bisa ia selami sendiri.
Dia butuh teman. Dia butuh orang lain yang mampu mengerti dirinya. Dan orang itu hanya ada satu di dunia, yaitu orang yang sama. Satu orang yang selama ini menghuni pikirannya. Seseorang yang mendominasi alam bawah sadarnya. Seseorang yang sudah tiga bulan ini ia diamkan. Tanpa alasan yang jelas.
Berkali-kali ia mencoba meredam kekecewaannya, namun berkali-kali pula ia telah gagal. Bukan karena pria itu, tapi karena hatinya terlalu berat untuk mengakui bahwa ia yang keliru.
Ia yang telah keliru berharap.Maaf, semua ini salah saya, batinnya.
Ia mengusap wajah dengan kedua telapak tangan, sebelum akhirnya, kepalanya bersandar sempurna pada bantal.
*****
Seperti biasa, lelaki itu menghabiskan hari-harinya di toko buku miliknya. Toko buku yang ia bangun dengan jerih payahnya sendiri. Dan berkat dukungan sahabat dan bantuan pegawainya, kini toko buku itu sudah memiliki nama yang cukup tenar di kota tersebut.
BoekenWinkel. Papan nama itu kembali berpendar menenangkan. Senja turut menambah suasana nyaman di toko itu.
Tampak muda-mudi tengah sibuk mencari maupun membaca di sudut-sudutnya. Tak jarang pula yang sengaja datang untuk mencari pernak-pernik lucu untuk dikoleksi, seperti: notes, pulpen warna-warni, bingkai foto, pajangan pintu, dan masih banyak lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEMARKASI
Short Story"Batas ada karena kita .... tak lagi bersama." ❌Cerita pendek bertema percintaan sejenis. ❌Homopobic diharap menjauh! Copyright by Dharma Byakta. Desember, 2017