E N.

102 14 2
                                    


KUTA tak pernah mati, menolak sepi, selalu penuh akan penghuni.

Jalan setapak dengan hiruk pikuk pejalan kaki, jejeran toko dengan lalu lalang pembeli.

Di sebuah restoran Italia, tampak melangkah masuk sepasang sejoli. Tampilan keduanya tampak sedikit mencuri perhatian, terbukti oleh munculnya beberapa tatap dan bisik mengiringi langkah keduanya menuju meja tereservasi.

Gadis cantik dengan floral dress yang menampilkan sepasang tungkai indah terbalut sandal etnik khas pengrajin lokal itu melenggang anggun. Tanganya mengamit lengan pemuda bersetelan santai yang berjalan bersamanya. Celotehan manja dengan senyum mengembang hiasi wajah keduanya.

"Crab Bruschetta, Truffle Tagliatelle, Chopped Salad, Chardonnay, Espresso, and—"

"—Limoncello, thankyou."

Sepasang anak muda itu bertukar senyuman lantas mengangguk sembari bergumam terima kasih setelah pelayan mencatat pesanan mereka dan bergegas undur diri. Tinggi bukan berarti melupakan bawah, petuah Sang Mama yang selalu terngiang di kepala. Karena sekecil apapun, bantuan orang lain selalu pantas untuk mendapat apresiasi meski hanya gumaman terima kasih.

"Actually, I can deal with ravioli or meat balls and parmesan." Sang perempuan bergumam dengan jemari lentik mengetuk pelan di atas meja kayu.

Sang pria membalas dengan kekehan ringan. Tangannya terulur merapikan anak rambut sang perempuan yang mengusik wajah cantiknya.

"I will share, baby, just don't worry. Aku hanya nggak mengambil risiko untuk nantinya dengar ocehan kamu tentang berat badan lagi. Im tired, for God shake."

"Aku nggak pernah ngoceh tentang berat badan!"

"Oh, yes you are. Kamu bisa tanya ke seisi rumah."

Perempuan itu berdesis sinis lantas melempar tatapnya ke arah lain. Mengabaikan kekehan senang sang lelaki yang kini kembali mengusap rambutnya dengan raut jenaka.

"Nara."

"Hm."

"Look around."

"Ada apa?"

"Peoples staring at us like we are a very happy couple."

"Keberatan di sangka pacaran? Or else, takut tiba-tiba terciduk sama salah satu your lover?"

Sang pria menelengkan kepala untuk menatap lekat pada perempuan bernama Nara itu. Jemarinya mengusap dagu dengan sebuat gerakan pelan.

"Kamu cantik, dan bisa diperhitungkan untuk masuk dalam list. But sadly, we born with the same blood. You have to forget that think."

"Bang Retis, please. Even on my nightmare, kamu nggak pernah masuk jajaran pria yang akan aku beri kata iya."

"Sombong! You have no idea how many lovers of mine out there."

"Yang pasti nggak akan sebanyak yang mengantri untuk Kak Genta."

"Cut it off! You are my sister, stop defending him."

"Kak Genta is my brother from another mother. She treats me better than you do, so I stand by his side."

Retis menjulurkan tangan, mengetuk kening Nara dengan gemas sementara perempuan itu semakin tergelak dengan cantiknya. Membuat kesal satu sama lain selalu menjadi hiburan tersendirinya yang hanya dimengerti keduanya.

"Anyway, bro, I have a question. May I?"

"Kamu sudah bertanya."

Nara memutar bola mata dengan sikap acuh lantas merapikan posisi duduknya hingga ia benar-benar berhadapan dengan Retis.

Nothing Is ImpossibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang