Pagi mendung Kamis manis. Aku sedang di koridor sekolah, menelan setiap sastra yang berlalu lalang pada benak seorang pecinta. Berduduk seorang diri, menikmati sunyi dalam ramai adalah rahmat yang tiada dua baginya.
Temanku digenggamnya erat sambil sekali-dua diketukkannya ke dahinya tanda ia sedang berpikir. Aku selalu saja penasaran dengan segala yang ia pikirkan. Bagaimana tidak? Setelah pikiran-pikiran panjang itu berlalu, setelah ketukan-ketukan itu selesai, aku selalu saja terisi dengan diksi-diksi penggugah rasa.
Aku tidak pernah benar-benar paham akan perasaannya. Suatu hari dia berbahagia, merangkai kata mencipta puisi cinta. Namun di hari lain, temanku digoresnya dengan tangan tergetar, mencipta sajak-sajak getir, lalu aku ditetesinya bulir-bulir yang aku tidak pernah suka. Bagaimana seorang pecinta bisa sungguh bergembira lalu beberapa saat setelahnya terbunuh lagi perasaannya?
Di koridor ini, aku bersamanya sedang sekali lagi berjanji. Seperti janji-janji kemarin yang tidak pernah ia tepati. Hari ini, dia menjanjikan janji yang sama lagi setelah selesai merangkai sebuah puisi pedih. Sebuah janji yang tidak akan terpenuhi.
Dia berjanji akan berhenti berharap, berhenti meninggikan damba, berhenti men-cin-ta...
Sudah dua tahun lebih dia mencintai anak manusia yang sama. Berharap akan dicinta balik olehnya, mendambanya dengan pendambaan yang setinggi cemara. Namun sudah dua tahun lebih pula ia lebih sering menitikan air mata dibanding tergelak dengan tawa.
Aku ditutupnya setelah janji omong kosong itu diukirnya padaku. Ia menatapku, dengan tatapan yang betul kukenali itu. Tatapan pengharapan yang dua tahun lebih belakangan ini sering ia bagi untukku. Lalu ia peluk aku. Air mata sekali lagi menetes dari mata cengengnya, mengalir pelan membelai pipi kanannya. Matanya ia tutup sembari bulir air itu mengalir tenang menujuku, membasahi tubuhku.
Seperti sebelum-sebelumnya setelah ia menjanjikan omong kosong itu padaku, ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan, mengaminkan sendiri permohonannya.
Aku pula ada di sana ketika tangis pertamanya mengalir karena seorang yang sudah dua tahun lebih ini ia bahas padaku. Ia menangis seperti bayi merengek asi. Wajar saja ia menangis, sebab seorang belia itu adalah cinta pertama yang sekaligus adalah sakit hati pertama yang ia cicipi karena cinta.
Aku hendak mengutuknya, memaki dengan seribu kosa kata kotor luar biasa. Bisa-bisanya ia pasrah akan segala rasa sedemikian menyiksa yang ditumpahkan kepadanya. Mulai dari asa-asa yang disuguhkan kepadanya, hingga lara-lara yang ia terima, semuanya tidak sudi kubiarkan untuk ia gurat padaku. Andai aku bisa melawan, tidak akan mau aku diisi seenaknya dengan kisah dramatis memancing murka macam kisahnya.
Apakah semua manusia seperti dia? Begitu lugu, begitu polos. Seolah dunia bisa saja mencabik paru-parunya dan dia tidak menyadarinya hingga tersengal-sengal napasnya. Ah, manusia!
Dua tahun lebih aku lebih banyak diisinya dengan satu nama yang sama. 'Dimas', kalau aku tak salah. Malas aku menengok kembali lembaran-lembaran tubuhku yang penuh lara serta air mata, dan sedikit asa. Hanya sedikit asa.
Hampir habis tubuhku hanya dia kenalkan dengan kata 'cinta', 'semu', dan 'rindu'. Rupanya dahulu dia dan belia yang sering ia gurat namanya adalah sepasang sahabat yang dekat.
Kuingat pertama kali ia gurat nama belia itu padaku, aku terheran, pun temanku sama. Sebab sebelumnya, yang ia gurat adalah asa-asa kehidupan, pula fiksi-fiksi yang menjanjikan nyata pada imajinasi.
Awal kedatangan nama itu, selalu diiringi dengan kata 'pesona', 'takjub', serta 'kagum'. Rupanya belia yang dimaksudnya itu begitu tampan wajahnya, baik budinya, pula cemerlang otaknya.
Aku pernah sekali bertemu dengan belia itu. Kala itu Minggu. Aku dan tuanku sang pecinta, berada di suatu tempat yang ramai. Entah apa namanya. 'taman', mungkin. Sebab kala itu, dia menggurat puisi mengenai alam, pepohonan, kerindangan, dan taman.
Belum selesai puisinya, belia itu datang dengan sapa. "Hai, El", katanya. Terdengar cukup ramah suara belia itu dengan nada beratnya. "Sendirian saja?", sambungnya bertanya.
Tuanku rupanya menggeleng, lalu dibelainya aku dengan lembut. "Sama buku", katanya pelan. Tuanku tersenyum, belia itu tertawa. Entah apa maksudnya.
Aku memang baru saja diadopsinya kala aku dan temanku yang datang dari tempat yang sama, bertemu dengan belia itu. Aku tidak cukup tahu banyak mengenai belia itu waktu itu. Belum. Hingga pada hari-hari setelahnya, pada lembaranku yang kelima belas, dia, tuanku seorang pecinta, menggurat nama belia itu padaku. Tak lupa, disertakannya dengan rasa bahagia, dan sunggingan senyum setelah ditutupnya aku.
Aku ingat sekali kejadian itu. Aku tidak akan pernah lupa tulisan panjang pertama yang mendarat di tubuhku. Dia bilang belia itu bersama-sama dengannya mengunjungi suatu toko buku, pada sore hari Sabtu. Dia mencari sebuah buku berjudul "Aisyah" yang dikarang oleh penulis asing.
Aku kenal sekali dengan buku itu. Dia selalu duduk di rak depan rakku dahulu. Dia ramah, selalu tersenyum kepadaku. Warnanya ungu, cantik sekali untuk dipandang mataku. Aku bahkan jatuh cinta dibuatnya setiap hari. Sayang sekali tuanku seorang pecinta suatu waktu mengadopsiku, maka selesailah sudah masaku memandangi buku idamanku. Kuingat wajahnya menatapku saat tuanku meraihku dari rakku. Dia tersenyum, hanya tersenyum. Ah, Aisyah idamanku.
Tuanku seorang pecinta ternyata di waktu yang berbeda pula berniat mengadopsi Aisyahku. Tapi sayang, mungkin Aisyahku telah diambil orang. Pupus sudah asaku bertemu lagi dengan Aisyah idamanku.
Beda denganku yang sengsara karenanya, tuanku malah berbahagia tidak menemukan Aisyah. Tuanku menggurat, bahwa hari itu, tuanku bersedih. Sudah berminggu-minggu katanya disisihkannya uang jajannya untuk mengadopsi Aisyah, namun saat tiba di sana, ia tidak berjodoh untuk dipertemukan dengannya.
Dan pada kala itulah, belia itu, meregas hati milik tuanku seorang pecinta. Belia itu menggenggam tangan tuanku, kedua bola matanya menatap kedua bola mata tuanku dengan lamat, lalu ia berucap "Jangan sedih, masih banyak toko buku lain". Sesederhana itu belia itu menenangkan tuanku, sesederhana itu pula cinta merasuki batang tubuhnya. Kelu bibirnya entah hendak berucap apa. Jantungnya seolah berhenti memompa, katanya.
Dia diam seribu bahasa. Beku, ditelan segumpal rasa yang tak pandang kapan dan kepada siapa ia hendak bermuara; cinta. Tuanku lalu menunduk, tersipu malu dibuat sang belia. Tuanku menarik tangannya, lalu perlahan melangkah, tanpa kata, meninggalkan toko buku bersama seorang sahabatnya di belakangnya. Seorang sahabat yang kala itu mulai dicintanya.
Aku masih di koridor sekolah bersamanya. Dia memelukku erat, setelah aminnya. Tak lama, kudengar langkah-langkah mendekat menujunya. "Hai, El", ucap seorang belia padanya. Belia itu adalah belia sama yang sedari dua tahun lebih yang lalu membuatnya jatuh mencinta. Dia membalas pula dengan "Hai" yang sama. Lalu, belia itu berlalu. Hanya berlalu, tanpa singgah. Anehnya, segumpal hati yang paling dalam milik tuanku sang pecinta, dirasuki lagi oleh sepenggal asa, secercah rasa; cinta. Aku tahu, sebab, tentu saja, tuanku sang pecinta mengguratnya pada tubuhku setelahnya.
Bodoh! Ku maki ia. Tidak digubrisnya, biar saja. Aku kesal sekali kepadanya.
Bodoh! Ku makinya lagi.
Dan lagi.
Dan lagi.
Dan lagi.
Ah, manusia!
Ah, remaja!
Pinrang, 27 November2016
KAMU SEDANG MEMBACA
My First...
General FictionMy First... adalah kumpulan cerpen pilihan dari Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional bertema "My First..." atau yang pertama. Mengapa mesti my first? Yah, ini adalah event pertama dari Jejak Publisher. Karena hal-hal pertama adalah hal yang biasanya...