KIANSANTANG ANTARA MITOS DAN SEJARAH
I. PRABU KIANSANTANG.
Menurut beberapa sumber cerita, bahwa nama Kiansantang adalah :
1. Rajasangara, putra bungsu Prabu Jaya Dewata ( Sri Baduga Maharaja ) dari Nyai Subanglarang, yaitu adik dari Pangeran Walangsungsang dan Rara Santang ( Syarifah Mudaim ). ( Kabhupatian i Bumi Limbangan - Drs. Bayuningrat ).
2. Prabu Kiansantang nama lainnya adalah Gagak Lumayung. ( Wawacan Gagak Lumayung - NN ).
3. Prabu Kiansantang adalah putra mahkota Prabu Ragamulya /Nusiya Mulya/Suryakencana ( Siliwangi terakhir). Waktu itu rombongan Raja oleh Ki Lengser dibawa menembus ke arah Selatan, dan berniat untuk menyebrang ke Nusa Larang ( Pulo Chrismas ) melewati pantai Tegalbuleud yang berada di pantai sebelah Selatan (termasuk wilayah Kabupaten Sukabumi ). ( Anis Jati Sunda - Ujung Galuh 5 : 12 ).
4. Ada catatan yang disusun oleh R. Endih Natapraja pada tanggal 10 Juni 1972, bahwa Prabu Seda Eyang Ratu Pakuan ( Prabu Ragamulya Suryakencana ) meninggalkan Pakuan diikuti oleh orang-orang yang setia dan mencintainya, termasuk dua sesepuh keraton, yaitu Eyang Ki Santang yang bergelar Gagak Lumayung dan Eyang Panaekan Ukur, beserta permaisuri, para putranya, para cucu, dikawal para pengawal keraton. Pada awalnya menuju arah Timur, yang sekarang disebut daerah Pasir Pakuan ( Desa Cikancana Kecamatan Pacet Kab. Cianjur ). Untuk menghindari ancaman pihak musuh ( Pasukan Banten – peny ), dia tidak lama di Pasir Pakuan. Untuk menutupi jejak, di sana dibuat makam, yang disebut Pasarean Paku Haji dengan meninggakan nama Eyang Haji Jayapakuan. Para putra dan cucu ditinggakan di sana dan dijaga oleh Eyang Ki Santang dan Eyang Panandean Ukur. Sedangkan beliau menuju arah Selatan, dan tiba di hulu Sungai Ciujung, dan wujud asli jadi berubah. ( Ujung Galuh 5 : 62 ).
Penyusun disini akan menggunakan pendapat Drs. Bayuningrat, bahwa Kiansantang adalah Raden Rajasangara, putra bungsu Prabu Jaya Dewata/ Sri Baduga Maharaja dari Nyai Subanglarang,
Menurut Hasan Basyari, bahwa Raja Sengara pada saat pemberian gelar Sri Mangana oleh Prabu Jaya Dewata ( Sri Baduga Maharaja ) bagi Pangeran Walangsungsang pada tahun 1456 M , dia tetap tinggal bersama kakaknya di Cirebon, untuk lebih memperdalam pengetahuan agama Islam. Dan setelah cukup dalam ilmu agamanya, beliau ingin atau bercita-cita untuk mengislamkan rakyat Pajajaran,sebagaimana cita-cita kakaknya Pangeran Walangsungsang, maka dia pun pergi meninggalkan Cirebon.
Raja Sangara/ Prabu Kiansantang pergi ke arah Barat. Di daerah Kandanghaur ada 4 orang yang masuk agama Islam dan ikut serta pergi dengannya. Kemudian menyusul pula 4 orang yang masuk agama Islam. Jadi selama diperjalanan beliau diikuti pula oleh para bangsawan dan rakyat Sunda Galuh yang telah memeluk agama Islam.
Dari Kandanghaur Prabu Kiansantang dan para pengikutnya berangkat ke mata air Cidarengdeng kemudian ke Jambu dan akhirnya sampai ke Godog Suci sekarang ( Karangpawitan Garut –peny. )
Menurut Sejarah Limbangan, ketika pertama kali Raja Sangara ( Prabu Kiansantang ) menyebarkan agama Islam dari pesisir utara, beliau datang di Keprabuan Galeuh Pakuan ( Limbangan – Peny.), yang saat itu penguasanya adalah Prabu Hande Limansenjaya, putra Prabu Layakusumah dan cucu dari Sri Baduga Maharaja dengan Ratu Anten.
Prabu Hande Limansenjaya dengan terang-terangan menyatakan kepada Prabu Kiansantang, bahwa dia tidak bermaksud untuk masuk agama Islam, tetapi akan tetap memegang teguh agama leluhurnya. Tetapi kepada anaknya Raden Wijayakusumah/ Adipati Limansenjaya Kusumah, akan disuruhnya untuk memeluk agama Islam.
Dan mungkin saja dengan kebijaksanaan Prabu Kiansantang, ketika Prabu Hande Limansenjaya wafat, makamnya di Pasir Sanghiyang Wanaraja Garut ( sekarang termasuk wilayah Kecamatan Sucinaraja Kab.Garut ), ditempatkan serta dibarengi dengan upacara menurutkan agamanya.