✒29. Surat Patah Hati 2

10.7K 768 10
                                    

"Den, lo nulis apa?" Aretha hendak mengintip tulisan tangan Arden ketika baru saja kepalanya dijitak oleh kembarannya. "Pelit!" Umpat Aretha mengelus kepalanya sendiri sambil memanyunkan bibir.

"Ini privasi Tha. Emang lo mau surat lo gue baca!" Ujar Arden mencoba membalas mengintip milik adiknya.

Aretha menggeleng tegas lalu menyeret kertasnya jauh dari Arden, ia melanjutkan menulis surat dengan perasaan yang menggebu, otaknya selalu mendidih ketika mengingat nama Delvian. Sebaliknya Arden justru sibuk tersenyum memikirkan Hairin sambil terus menulis.

Butuh waktu beberapa menit untuk mereka selesai menulis.

"Terus ini mau diapain Tha?" Arden menoleh ke Aretha. Kembarannya itu sedang meremas suratnya menjadi bentuk bola tak beraturan.

Melihat itu Arden mengernyit, "kok lo gituin sih. Bukannya lo mau kasih suratnya ke Delvian?" Pertanyaan Arden mampu membuat Aretha tertawa sangat kencang hingga beberapa pengunjung kedai melihat kearah mereka. Sontak saja Aretha diam dan melirik kesal kearah kembarannya.

"Menurut lo gue mau gitu ketemu dia terus ngasih surat ini." Aretha mengangkat suratnya keatas, genggamannya sangat erat hingga mampu membuat bentuk bulat itu semakin mengecil. "Gue bikin ini cuma iseng Den, biar gimana ya, jadi semacam curhat gitu loh sama tulisan. Ngerti kan? Biar lega aja." Cerocosnya.

Arden menggeleng. "Cewek itu emang ribet ya." Arden memilih melipat kertasnya menjadi dua lalu menyelipkannya kedalam buku paket matematika.

Aretha terkekeh, "buktinya lo mau nulis surat juga kan." tunjuk Aretha menggunakan dagu.

"Iya tadinya, tapi sekarang sia-sia karena lo." Arden mendengus.

"Kok jadi gue? ya kalau lo mau kasih, kasih aja kali ke Hairin." Aretha menarik es krimnya mendekat lalu melahabnya dengan hikmat, disamping itu surat yang ia tulis diletakkan sembarangan di meja.

***

Aretha dan Arden saling menatap, di balkon kamar Arden terlihat senja mulai menghilang seiring langit berubah menjadi gelap. Keduanya masih melurus memancarkan tatapan tanya didalam kepala. Tidak lama, sampai keduanya menyadari sesuatu hal yang sama. Kejadian sebulan lalu, saat mereka baru saja putus dari pasangan masing-masing.

"Lo mikir apa yang gue pikirin?" Tanya Aretha menopang dagunya di pagar pembatas balkon.

Arden mengangguk, "waktu kita di kedai." Ungkapnya mengalihkan pandangan ke lantai satu, kehalaman belakang rumahnya yang baru saja dinyalakan lampu taman. Pemandangan yang hanya bisa dilihat dari balkon kamar Arden.

"Anjir sama. Gue juga mikir waktu di kedai. Sekarang gini,-" Aretha mencoba mengingat setiap kegiatan yang ia lakukan disana bersama Arden. "Semuanya masuk akal kalau yang nemuin surat kita Kanoa sama Amanda. Iya gak sih." Tambah Aretha meminta pendapat.

Arden mengangguk lagi.

"Amanda udah pasti nemuin surat lo di buku paket matematikanya. Kan sebelum itu lo emang dipinjemin bukunya. Terus besoknya lo balikin buku itu, dan,-" Aretha berhenti bicara karena dengan cepat Arden menyambung kalimatnya.

",dan gue lupa ngambil suratnya." Miris Arden menghela nafas panjang. "Itu semua gara-gara elo nyuruh gue nulis surat segala." dengusnya.

Giliran Aretha yang menarik nafas panjang, "sorry. Gue sendiri jadi nyesel sekarang. Coba aja waktu itu suratnya gue buang ke sampah, pasti gak bakal ditemuin sama Kanoa kan." Aretha mengerucut, wajahnya berubah kesal seiring ia mengingat kejadian Kanoa menertawakannya sambil asik bercerita bagaimana dia bisa menemukan suratnya diatas meja kedai.

The Bad Twins [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang