Karya : putri dewi ayu lestari “putdew”
Gemericik air memecah kesunyian, di tengah malam yang sendu aku merenung. “Apa yang telah ku perbuat? Mengapa aku bisa hancur seperti ini?”. Tetesan air mata terus membanjiri pipiku, menyesali segala yang telah terjadi. Masih pantaskah aku disebut sebagai wanita muslim? aku marah pada diriku semarah-marahnya, aku benci pada diriku, aku muak dengan diriku, rasanya ingin sekali mengakhiri hidup ini. Hidup yang sudah tiada artinya, hidup yang begitu kelam. Aku rasa aku tak pantas berada didunia ini, tak ada gunanya lagi aku hidup disini, untuk apa aku hidup? Agar mendapat cemohan? Hinaan? Cacian?. Ya memang sepantasnya aku mendapatkan hal itu. Sudah tak ada lagi hal yang bisa ku banggakan. Sudah tak ada lagi hal yang masih bisa ku pertahankan. Lantas, untuk apa aku masih bertahan disini.
kicauan burung bersenandung terdengar merdu sekali, seakan tak mempunyai beban yang di tanggung. Betapa indahnya jika diriku bisa hidup seceria itu, sebahagia itu, setenang itu. seakan memberi petunjuk bahwa aku masih bisa menikmati indahnya fajar, masih diberi kesempatan untuk bertahan didunia ini, masih ada yang menginginkanku agar tetap hidup. Aku menyadari satu hal, tak seharusnya aku berpikir untuk mengakhiri hidupku. Betapa hinanya aku jika aku melakukan hal tersebut. Aku masih memiliki allah, bukan ini yang seharusnya ku lakukan, aku seharusnya sibuk untuk bertaubat dan memohon ampun, bukan malah ingin mengakhiri hidupku.
Sejak saat itu, aku memantaskan diriku. Tidak mudah memang, apalagi dengan latar belakangku yang kelam. Tapi aku terus meyakinkan diriku bahwa aku bisa melalui masa sulit ini. Dimulai dari “Bismillah, aku harus khatam meraih ridhomu. Bantulah aku wahai zat yang maha penyanyang. Penuhi dada ku dengan ayat-ayat Al-Qur’an, lapangkan hatiku dengan ayat-ayatmu. Sirami hidupku dengan ayat sucimu. Begitu mendalam keinginanku atas nama Allah Swt. Lillahi ta’ala. Semoga aku bisa mempelajari, mengkaji kitab suci mu. Bantulah aku, bimbing aku”.
Hidupku kembali bermakna, dimulai dari hal-hal kecil. Aku mulai menutup auratku, walaupun tidak syar’i tetapi setidaknya lekuk tubuhku tak nampak, sedikit demi sedikit aku yakin suatu saat nanti aku bisa hijab yang syar’i. Aku membiasakan diri bangun pagi untuk sholat subuh. Belajar mengistiqomahkan 5 waktuku. Aku bersyukur masih ada orang-orang yang mau membantuku untuk kembali kejalan yang benar. Hidupku seakan berjalan damai, aku mulai merasakan ketenangan yang membuatku menjadi seorang wanita penyabar, dan mudah meredam amarahku. Terbesit dalam benakku, aku harus memuliakan diriku. Aku harus menjadi wanita sholehah. Aku menggali informasi di internet tentang bagaimana menjadi wanita sholehah. Aku mempelajari nya, santai tapi pasti.
Suatu ketika saat aku usai menghadiri majlis taklim, ada satu hadist yang ku ingat jelas. “Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah” (HR. Muslim no. 1467). Subhanallah, wanita shalilah adalah perhiasan dunia. Islam begitu memuliakan wanita, begitu mengormati wanita. Tetapi diriku sangat tidak mencerminkan wanita muslim. “ya allah, islam sangat menjaga kehormatan dan kesucian seoarang wanita. Islam begitu menjunjung tinggi kehormatan wanita. sedangkan aku? Aku malah menjatuhkan harga diriku sendiri. Betapa kotornya diriku” isak tangis memecah keheningan malam ku. Kembali teringat akan apa yang telah ku perbuat di masa lalu. Hatiku merasa sakit, hatiku seperti disayat-sayat. Betapa bodohnya diriku. Tetapi aku tetap mensyukuri perjalananku. Jika aku tidak diberi pengalam seperti ini mungkin aku tidak sekuat ini dan mungkin aku tidak akan bisa memperbaiki diriku dan hidupku.
Keesokan harinya aku berpikir untuk bersilaturahmi kepada guruku. Beliau orang yang sangat ramah, bijak dan tegas. Setibanya dirumah beliau, aku disambut oleh senyuman hangat darinya. Beliau sangat senang melihat perubahanku. Dan beliau antusias sekali mendengarkan perjalanan hijrahku. Saat sedang asyik bercengkrama tiba-tiba beliau mengatakan “semoga kamu tetap beristiqomah, dan terus gali ilmu agama agar kelak suamimu merasa beruntung memilikimu” ujarnya. Aku tercengang mendengar perkataan beliau. “insya allah, mudah-mudahan aku bisa menjaga semua ini dan tetap dijalan-Nya” sahutku.
Tiba di masa aku merasa kesepian. Mengingat usiaku yang beranjak dewasa, aku mulai merasakan kesepian yang membuatku ingin sekali segera menikah. Tapi akan kah ada lelaki yang mau menerima ku sepaket dengan kekuranga dan masalaluku yang kelam? Rasanya mustahil, apalagi di zaman modern seperti ini. Aku cemas jikalau nanti aku kembali terjerumus ke dunia masalaluku. Aku takut tidak bisa mengontrol nafsuku, aku takut tidak bisa tetap berada digaris aman.
Usia muda adalah masa ketika gejolak jiwa mulai bertumbuh, dan merupakan masa dimana butuh seseorang untuk menopang diri dan hidup agar masa depan kita lebih teratur, terarah, dan seimbang. Apalagi zaman ini seks bebas bukanlah merupkan hal yang asing dan aneh. Dimana-mana ada seks bebas. Kekhawatiran ku semakin menjadi, “bagaimana aku menanggulangi semua ini? Saat aku mulai ada ketertarikan dengan lawan jenis?” keluhku. sebuah solusi yang indah bagi dua orang individu yang ingin saling memenuhi kebutuhan seksualnya, yakni pernikahan. Dengan menjalani pernikahan, kita akan lebih mudah untuk mengatur emosi seksual, dan lebih menjaga diri dari maksiat kepada Allah. Melalui pernikahan, potensi untuk melakukan maksiat akan berkurang. Jangankan zina, melamun saja sudah menjauhkan kita dari mengingat Allah, terlebih ngelamunin lawan jenis. Dengan menikah, nilai ketakwaan kita di hadapan Allah juga bertambah. Secara tidak langsung, pernikahan menjaga diri kita sekaligus agama Islam.
Ditengah malam yang hening, aku terbangun karena terus menerus gelisah. Mengambil wudhu dan segera shalat tahajud untuk mencurahkan segala isi hatiku, keluh kesahku, harapan-harapan ku yang tak bisa ku ceritakan kepada manusia. Malam yang terasa sangat cepat sekali berlalu sampai tak terasa adzan subuh berkumandang. Begitu khidmatnya aku mencurahkan hingga tak terasa fajar menyongsong. Aku bergegas melaksanakan kewajibanku setelah adzan usai berkumandang.
Seperti biasa aku menjalankan rutinitasku, saat itu aku sedang berjalan menuju kampus. Aku mendengar cermah dari mesjid yang aku lewati dan ustad tersebut mengatakan bahwa “Seorang wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya, maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu beruntung”. Langkahku terhenti sejenak. Pilihlah agamanya, niscaya kamu beruntung. Tetapi apakah aku sudah mumpuni? Aku rasa aku masih jauh dalam soal religius. Sepanjang hari aku terus teringat hadist tersebut.Setelah usai menghadiri acara maulid nabi. Ada seorang bapak-bapak menghampiriku dan ditemani seorang lelaki muda yang tampan bersamanya. Beliau menyapa ku mengucapkan salam. Aku tercengang mendengar perkataan beliau. “maaf nak, perkenalkan nama bapak Amir, dan ini anak bapak namanya Ahmad. Begini, niat bapa menemuimu ingin melamar kamu untuk Ahmad. Apakah nanti hari ahad ayahmu ada dirumah?” ujarnya. Sontak semua itu membuatku terperangah. “subhanallah apa ini? Apakah ini jawaban dari doa ku selama ini?” celotehku dalam hati. “emm.. maaf sebelumnya, kalau boleh tahu mengapa akhi ingin menikahi saya?” sahutku. “karena kesungguhanmu yang mau belajar dan terus memperbaiki diri, dan aku akan membimbingmu dalam beristiqomah” pungkasnya. “baiklah kalau begitu, tolong tuliskan alamat mu ya” kata pak amir. “ini alamat rumahku” balasku.
Sesampainya dirumah aku masih belum sadar dalam lamunanku. Kabar bahagia yang mengharukan, doa ku akhirya terjawab. Aku takkan lagi mengkhawatirkan jatuh cinta yang menyesatkan atau menjerumuskan. Setelah selesai membersihkan diri, dan saat jam makan malam tiba. Aku menceritakan kejadian tadi siang kepada bapak dan ibuku. Ada rasa khawatir kalau-kalau bapak menolak lamarannya. Karna aku pun belum pernah bertemu dengannya sebelumnya. Bapakku sempat ragu dan bertanya “apakah kamu yakin dengannya? Apa kamu sudah siap untuk menikah? Karena menikah adalah hal yang sakral. Apakah mentalmu sudah siap untuk menikah?” tuturnya. “insya allah aku yakin pak, insya allah aku siap pak.” Sahutku untuk meyakinkan bapakku. “lalu bagaimana dengan kuliah dan karirmu? Apa kamu tidak merasa terbebani setelah menikah nanti?” ujarnya. “kuliah kan bisa walaupun sudah menikah pak, soal karir nanti itu dibicarakan, jika suamiku mengizinkan aku berkarir aku akan melanjutkannya, dan jika tidak maka akan aku tinggalkan, karena setelah menikah nanti selain mngharapkan ridha dari orang tua, aku juga harus mendapatkan ridha dari suami” jelasku. Akhirnya bapakku menyetujuinya. Aku merasa sangat bahagia beserta haru, karena orang tuaku tidak mempersulit semuanya.
Hari yang ku tunggu pun tiba, tepat pukul 20.00 keluarga pak amir tiba. Keluarga ku menyambut dengan sapaan dan senyuman hangat. Mereka dipersilahkan masuk dan duduk di ruang tamu. Setelah berbincang basa basi, pak amir pun angkat bicara. “begini pak suryo, kedatangan saya kemari ingin melamar anak bapak untuk dipersunting oleh anak saya Ahmad” jelasnya. Pak amir mendeskripsikan karakter mas Ahmad baik dan buruknya. “Agar kelak putri bapak tidak kaget nantinya” tuturnya. “sebelumnya saya juga sudah mengetahui soal niat kedatangan pak amir kemari, setelah menimbang dan memusyawarahkan dengan istri saya dan mengingat usia putri saya yang sudah beranjak dewasa, memang seharusnya kami segera menikahkannya, karena kami sebagai orang tua khawatir anak kami akan terjerumus ke jalan yang salah. Saya memutuskan untuk menerima pinangan dari anak bapak” jelasnya. “akhamdulilah” seruan keluarga besar pak Ahmad dan keluargaku.
Setelah memusyawarahan mengenai kapan pernikahan akan berlangsung. Kami memutuskan bahwa 2 minggu setelah lamaran kami akan menikah. Di khawatirkan terjadi hal-hal yang tidak di inginkan maka kami menyegerakannya. Dan keluarga kedua belah pihak pun menyetujuinya. Aku merasa ini hal yang sudah ku nanti setelah sekian lamanya. Akhirnya hari pernikahanku pun tiba, ijab qobul yang lantang dan tegas membuat hatiku luluh. Usai mengucapkan ijab qobul, aku mencium tangannya dan dia pun mencium keningku. Sangat nyaman sekali, sentuhan yang lembut seakan meyakinkanku bahwa dia memang mencintaiku karna Allah. Akhirnya aku dan dia menjadi pasangan yang halal.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIMBINGLAH AKU AGAR ISTIQOMAH DIJALAN MU
RomanceMotivasi untuk para remaja dalam perjalanan hijrah