Piano itu, kuusap pelan, ada sesuatu terasa di hati ini. Entah apa itu namanya, tapi seperti itulah rasanya. Menyayat, mengiris, menghancurkan.
" Nda, makan dulu."
Seorang wanita, tanteku memanggilku lembut. Menawariku sedikit makanan. Mungkin upah dari permainan hari ini. Tapi aku menolaknya, mungkin untuk hari ini saja.
" ono opo tah le?"
Tanteku sepertinya sedikit penasaran, ia menanyakan mengapa tiba-tiba aku menolak. Aku tidak menjawab pertanyaan itu. Pamit, kemudian pulang dengan motor lawasku. Menerabas hujan, dengan keadaan kaki yang terbalut perban. Mungkin memang sakit, setidaknya dapat menggantikan sakit dihati ini.
Setelah tiba dirumah, aku memarkir motorku di garasi. Berjalan ke ruang keluarga lalu menghamburkan diriku yang kuyup ke arah sofa. Aku tidak takut dimarahi siapapun. Ayahku, tidak terlalu memperhatikanku. Ibuku selalu sibuk dengan pekerjaan. Saudara-saudaraku pergi merantau. Kuhitung, sudah lebih dari 365 hari, aku melewatkan masa bersama Megane.
Siapa Megane? Nantilah aku ceritakan setelah mandi dan berganti pakaian, meluruhkan segala daki dan keringat yang melekat setelah perjalanan jauh hari ini. Kutanggalkan semua pakaianku, kemudian ku tenggelamkan tubuhku dalam genangan air hangat. Sembari mengingat-ingat bagaimana aku berjumpa dengan Megane.
Pukul 22.00, aku turun dari bak mandi yang mulai menampakkan dinginnya. Kupakai sehelai handuk, kemudian aku berjalan dengan terhuyung ke arah kamarku. Mungkin aku akan bercerita setelah merehatkan badanku ini. Setelah berpakaian dalam, kurebahkan tubuhku. Memejamkan mata lalu tertidur.
2 jam kemudian, aku turun dari tempat rebahku. Kusambangi teras depan, kutaruh kopi yang tadi kubuat. Kubalikkan cangkirnya diatas cawan, agar dapat kuhirup juga ampasnya. Kembali ingatanku menerabas ke masa lalu. Setidaknya, 2 minggu sekali aku dan Megane bercakap-cakap di teras ini. Ia terus memandangiku, lekat. Seperti yang kerap aku lakukan, saat menelisik mata Megane, disekolah, sewaktu kami masih bersama.
Setahun lalu, aku dan Megane bertemu dalam sebuah festival budaya, di suatu hari mendung menggantung. Ketika kami sama-sama duduk memandangi euforia sebuah festival. BUNKASAI setahun lalu memang paling berkesan. Setidaknya itulah yang kurasa. Dia teman setingkat, manis, dan pintar kurasa. Gayanya mirip seorang ibu yang perhatian. Tapi dia memposisikanku seolah-olah aku ayahnya, menjulukiku sebagai 'papa'. Mungkin karena dulu, aku mengenakan kaus bertuliskan 'PAPA MUDA'.
Setelah kejadian itu, kami mulai dekat. Dan mungkin beberapa bulan kemudian perasaan cinta mulai muncul dihatiku. Mungkin akan kulanjutkan di chapter selanjutnya. Di Ch. 2 After She Come to My Life